KOMPAS.com - Sama-sama negara Islam besar, Indonesia dan Arab Saudi merayakan Lebaran pada hari yang berbeda.
Perberdaan ini bukan terkait zona waktu tetapi buah dari keragaman syarat dan ketentuan untuk menetapkan awal bulan Syawal.
Indonesia dan Arab sama-sama melakukan dua metode untuk penetapan awal Syawal: penghitungan secara matematis atau hisab serta pengamatan hilal (bulan sapit tipis penanda awal bulan) secara langsung atau rukyat.
Namun, Indonesia dan Arab memiliki syarat dan ketentuan berbeda dalam rukyat sehingga Lebaran di Arab Saudi jatuh lebih awal, yakni pada Selasa (4/6/2019).
Dalam tulisannya pada Selasa (4/6/2019), astronom amatir Marufin Sudibyo mengungkapkan, Indonesia memiliki kriteria Imkan Rukyat.
Berdasarkan kriteria itu, hasil pengamatan hilal bisa diterima jika tinggi bulan minimal 2 derajat dengan umur bukan minimal 8 jam serta elongasi Bulan-matahari minimal 3 derajat.
Kriteria itu bisa digunakan untuk menolak laporan rukyat. "Terutama jika laporan berdasarkan pada observasi mata telanjang saja, tanpa didukung alat bantu apapun dan tanpa citra/foto yang menjadi bukti," katanya.
Sementara di Arab, rukyat bisa diterima asal ada yang melaporkan kenampakan hilal. Selama bulan sudah di atas ufuk saat senja akhir Ramadhan, maka hilal bisa diterima.
Baca juga: Memahami Pentingnya Saling Memaafkan Saat Lebaran, Menurut Sains
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, mengungkapkan bahwa dalkam rukyat pada Senin (3/6/2019), bulan tenggelam lebih dulu daripada matahari.
Selisih waktu tenggelamnya bukan dan matahari hanya 5 menit. Namun demikian, tetap saja tak mungkin ada yang mengamati hilal.
Secara perhitungan atau hisab pun, Marufin mengungkapkan bahwa Lebaran di Indonesia tetap jatuh pada Rabu (5/6/2019). Tinggi toposentrik Bulan bervariasi tapi masih kurang dari 1 derajat.
"Demikian halnya elongasi Bulan bervariasi dari yang terkecil +3º 00’ (di Pelabuhan Ratu, propinsi Jawa Barat) hingga +3º 12’ (di Jayapura, propinsi Papua)," ungkapnya.
Sementara di Arab Saudi, pada senja kemarin matahari tenggelam lebih dahuu daripada bulan. Sehingga, menurut Marufin, "bulan sudah positif (di atas ufuk)."
Ketinggian bulan di Arab saudi kemarin juga kurang dari 1 derajat. Pengamatan hilal dengan ketinggian itu sangat menantang dan kemungkinan besar tak teramati karena hilal kalah oleh cahaya senja.
Tapi karena Arab Saudi tidak punya syarat ketinggian hilal minimal, maka asal ada laporan hilal bisa diterima.
"Di Saudi, kesaksian tidak diuji dengan data ilmiah tetapi langsung diterima. Maka di saudi 1 Syawal ditetapkan 4 Juni," kata Thomas.
Baca juga: Libur Lebaran Ingin ke Pantai? Waspadai Gelombang Tinggi di Daerah Ini
Tidak seperti kalender Masehi, awal bulan dalam kalender Hijriah ditentukan lewat dua metode, perhitungan matematis atau hisab dan pengamatan bulan sabit tertipis atau hilal secara langsung.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin, mengungkapkan bahwa sama seperti Indonesia, Arab Saudi memiliki perhitungan Hisab, melakukan pengamatan hilal (Rukyat), serta menggelar sidang Istbat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.