Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Pembuatan Jalur Sutra, Mungkinkah Satwa Invasif Ancam Indonesia?

Kompas.com - 28/01/2019, 12:17 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Editor

KOMPAS.com — Satwa invasif diyakini menyebar cepat di sepanjang jalur sutra modern yang dibangun China di 123 negara di antara Asia, Eropa, dan Afrika. Ilmuwan mendeteksi sejumlah lokasi yang terancam, termasuk Indonesia.

Proyek raksasa yang diluncurkan lima tahun itu diniatkan untuk menghubungkan separuh Bumi dalam satu jalur perdagangan yang saling terkoneksi satu sama lain.

Yiming Li, salah seorang peneliti di Chinese Academy of Science, mempertanyakan apakah proyek bernama resmi Belt and Road Initiative ini akan berdampak pada kehidupan satwa amfibi, reptil, unggas, dan mamalia.

"Mungkin fokus otoritas China saat itu lebih kepada hama dan penyakit di pertanian. Dan satwa invasif bukan isu yang populer," ujarnya kepada AFP.

Baca juga: Jerat Tak Cuma Ancam Harimau, Bisa Musnahkan Semua Satwa di Sumatera

Li dan sejumlah ilmuwan lain di China dan Inggris mengembangkan sebuah model yang mengaitkan berbagai kawasan dengan jalur sutera modern. Pemodelan tersebut berbasis pada nilai perdagangan, iklim, dan habitat lokal.

Melalui cara itu, ilmuwan ingin memprediksi ke mana 816 jenis satwa vertebrata kemungkinan besar akan tumbuh dan berkembang pesat.

Studi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Current Biology ini mengidentifikasikan 14 titik panas, tempat spesies invasif berpeluang besar berkembang biak dan menggusur satwa lokal.

Dalam peta yang dibuat ilmuwan, titik panas itu tersebar di Vietnam, Filipina, selatan Chile, dan Indonesia.

Sementara Aljazair, Nigeria, dan Kamerun juga masuk dalam daftar kawasan yang terancam lantaran kondisi iklim yang menguntungkan.

"Apa yang kami sangat khawatirkan adalah enam koridor ekonomi terbesar," yang membentang antara Asia dan Eropa, kata Li.

Lantaran volume lalu lintas yang tinggi, "Ada kemungkinan besar terjadinya invasi dan kondisi lokal menguntungkan pertumbuhan spesies asing. Kami menyebut tempat tempat ini sebagai titik panas satwa invasif."

"Invasi spesies asing terus terjadi di berbagai tempat," kata salah seorang penulis studi, Tim Blackburn, profesor Biologi Invasi di University College London.

Eropa, misalnya, ikut mengekspor tikus ke Amerika Serikat. Di awal abad ke-20, satu jenis jamur dari Asia memusnahkan hutan kastanya Amerika Utara.

"Kali ini akan berbeda karena dimensinya dan volume perdagangan yang ikut terlibat," kata Blackburn.

Baca juga: Cara Kita Pakai Internet Mungkin Ancam Satwa Liar, Kok Bisa?

Seperti serangga dan jamur, beberapa satwa seperti katak, ular, dan burung bisa ikut terbawa truk dan kapal kontainer.

"Kodok banteng asal Amerika Serikat, misalnya, saat ini mulai menggusur satwa amfibi di China dan tergolong spesies amfibi paling agresif di seluruh dunia," kata Li.

Di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mengajukan paket kebijakan guna mengelola risiko satwa invasif tahun 2015 lalu.

Kebijakan tersebut tidak hanya menggawangi langkah pemerintah, tetapi juga mendorong pengelolaan informasi, penelitian, edukasi dan pembangunan kapasitas di tingkat lokal.

"Spesies invasif sangat sulit untuk diperangi. Tapi kita bisa mencegahnya. Jika Anda berhasil mencegah invasi satwa, Anda tidak hanya berhemat dana, tetapi juga satwa," tegas Li.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau