Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merangkai Toleransi Indonesia, Ahli Usulkan 2 Cara

Kompas.com - 19/12/2018, 20:18 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Isu intoleransi belakangan banyak dibicarakan di Indonesia. Pemicunya tidak lain adalah maraknya kasus-kasus yang mengacu pada tindakan tidak adanya toleransi antara beberapa kelompok.

Padahal, toleransi mutlak diperlukan di negara kita yang mempunyai keberagaman. Meski banyak kasus yang merujuk pada sikap intoleran, tapi mencapai toleransi di Indonesia bukanlah hal yang mustahil.

Bahkan, di tengah kasus-kasus tersebut, psikolog sosial Jony Eko Yulianto mengaku toleransi masih bisa diupayakan. Untuk caranya, Jony menawarkan dua ide.

Kegiatan Lintas Kelompok

"Pertama adalah mengupayakan adanya kegiatan-kegiatan bersama lintas kelompok. Bisa lintas agama, bisa lintas suku, bisa lintas partai politik, atau apapun," ujar Jonny saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/12/2018).

"Yang terpenting adalah membuat kegiatan bersama yang memungkinkan dua kelompok yang berbeda dapat duduk bersama atau terlibat dalam sebuah kegiatan dengan goal yang lebih besar daripada kepentingan kelompok," tegasnya.

Baca juga: Ahli: Indonesia Sedang Alami Normalisasi Intoleransi

Kegiatan semacam itu, menurut Jony bertujuan untuk membuat kategori sosial baru.

"Kategori sosial yang baru akan membuat kita menghilangkan bias favoritisme terhadap kelompok sendiri dan derogasi (menganggap buruk atau salah) terhadap kelompok lain," kata Jony.

Dia juga menekankan bahwa idenya ini bukanlah hal yang baru. Indonesia pernah menggunakan cara ini dalam Kongres Sumpah Pemuda.

"Kita pernah berhasil membentuk rekategorisasi sosial dengan Sumpah Pemuda 1928. Jon Java, Jong Sumatera, dll, dikumpulkan menjadi satu untuk punya gagasan baru tentang kebangsaan," tutur Jony.

"Akhirnya, ethnocentrisme (rasa suka terhadap suku sendiri) berubah menjadi nasionalisme," tegasnya.

Kisahkan Keharmonisan

Cara kedua yang ditawarkan oleh Jony yaitu dengan peran media. Dia menekankan pentingnya mem-blow up berita tentang relasi dua kelompok yang harmonis.

"Misalnya perkawinan antar-etnis yang harmonis, kerjasama antar-dua agama dalam memecahkan masalah sosial, dan lain-lain," ucap Jony.

"Hal ini juga dilakukan oleh Amerika Serikat saat memecahkan masalah intoleransi kulit hitam dan kulit putih," imbuhnya.

Relasi persahabatan semacam ini akan memicu toleransi terbentuk. Itu karena bersahabat dengan kelompok lain, kita akan menjadi objektif.

Baca juga: Ahli Psikologi Ungkap Makna Toleransi yang Sebenarnya

Ketika berbicara hal ini, Jony mengingatkan bahwa elemen obyektivitas penting karena mencerminkan toleransi dalam sikap kita. Dengan obyektivitas, kita bisa menilai sejauh mana rasa suka atau tidak suka pada apa yang dilakukan kelompok lain.

"Kita akan tahu bahwa kelompok lain itu tidak seburuk yang kita pikirkan. Kita juga sadar bahwa kelompok kita sendiri tidak sebaik yang kita pikirkan," kata Jony.

"Baik dan buruk akan sangat seimbang. Ini sejalan dengan Contact Hypothesis dari Professor Psikologi Sosial dari Harvard, Gordon Allport," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com