KOMPAS.com – Fenomena likuifaksi bukan hanya menghancurkan tetapi juga dapat menenggelamkan bangunan karena tanah yang berubah kepadatannya.
Dalam menghadapi risiko likuefaksi, Prof. Dr. Budi Soesilo Supandji, Pakar Geoteknik dan Manajemen Konstruksi Universitas Indonesia mengatakan, Indonesia perlu bercermin dari Jepang.
Budi mengungkapkan, manusia tidak bisa menghindari sesar tetapi bisa melakukan perbaikan tanah untuk meminimalkan risiko likuefaksi dengan dynamic compaction dan vibroflotation.
"Apakah ini pernah dilakukan? Pernah di Jepang,” katanya dalam diskusi yang digelar di Universitas Indonesia pada Senin (8/10/2018).
Dengan metode dynamic compaction, pemadatan tanah dilakukan dengan menjatuhkan beban berat berulang kali dengan interval yang teratur.
Bobot yang digunakan, tergantung pada tingkat pemadatan yang diinginkan, antara 8 ton hingga 36 ton. Metode yang pertama kali digunakan di Jerman pada pertengahan 1930 ini, kata Budi, cocok untuk diterapkan pada wilayah rentan likuifaksi yang akan dibangun untuk pemukiman.
Baca juga: Likuefaksi atau Likuifaksi? Gempa dan Perdebatan Bahasa di Era SEO
Sementara vibroflotation adalah teknik untuk densifikasi in situ dari lapisan tebal endapan tanah granular longgar. Teknik ini dilakukan dengan menggunakan probe elektrik atau hidraulik untuk tanah dengan kedalaman di atas 15 m.
Sebenarnya, menurut Budi teknik tersebut sudah diterapkan di Indonesia untuk infrastruktur besar seperti pelabuhan. Sebab pelabuhan juga berpotensi likuefaksi.
Hanya saja, ada kendala dalam menerapkan ini untuk menghadapi masyarakat yang sudah menetap lebih dulu di wilayah potensi likuefaksi.
“Rekayasa teknik bisa dilakukan tapi rekayasa sosial sulit dilakukan. Masalahnya kalau dari sisi engineering mati-matian mereka ingin memperbaiki daerah tersebut. Tapi kalau daerah pemukiman itu kita sulit meyakinkan masyarakat,” jelasnya.
Untuk itu, selain menemukan metode untuk menghadapi likuefaksi, dia juga berharap ada pendekatan sosial untuk dapat meyakinkan masyarakat akan bahaya wilayah yang mereka tinggali.
“Kalau menurut saya perlu adanya dialog, apakah mau di sana atau mau direlokasi, misalnya dari perumahan kita bisa jadikan lingkungan terbuka. Atau kalau mereka tetap ingin di sana, mereka perlu waktu. Mereka pindah dulu, kita amankan tanahnya baru mereka tempati kembali,” pungkasnya.
Baca juga: Likuefaksi atau Likuifaksi? Gempa dan Perdebatan Bahasa di Era SEO
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.