Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Keberagaman Gender di Indonesia

Kompas.com - 15/09/2018, 19:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh *

Masyarakat Indonesia seringkali memahami gender dan seksualitas secara biner–pria dan wanita, maskulin dan feminin–tanpa mempertimbangkan jenis kelamin dan seksualitas lainnya.

Heteroseksualitas diakui sebagai orientasi seksual yang “normal”, jika bukan sesuatu yang wajib. Sedangkan homoseksualitas dan biseksualitas dianggap tidak dapat diterima. Karena itu, gencarnya serangan terhadap LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) belakangan ini) tidaklah mengherankan, terutama dalam media.

Namun, orang-orang harus memahami bahwa keberagamaan gender dan seksualitas melekat pada masyarakat Indonesia.

Keberagaman gender di Indonesia

Secara budaya, orang Indonesia telah mengakui keragaman seksual dan gender sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

Indonesia memiliki sejarah homoseksualitas dan transgender yang kaya. Fakta ini tentunya bertentangan dengan kepercayaan umum bahwa mereka adalah “kiriman dari Barat”.

Sudah saatnya orang-orang menyadari bahwa homoseksualitas dan transgender bukanlah produk yang datang dari Barat. Budaya Indonesiatelah lama terbiasa dengan keragaman gender sebelum datangnya kolonialisme dan modernisasi yang memberikan pengaruh kuat pada masyarakat.

Mari kita lihat masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dengan keberagamaan gendernya. Sejak era sebelum Islam masuk, orang-orang Bugis telah mengakui lima jenis gender. Mereka membagi masyarakat berdasarkan gendernya menjadi laki-laki (oroane), perempuan (makkunrai), laki-laki menyerupai perempuan (calabai), perempuan menyerupai laki-laki (calalai), dan pendeta androgini (bissu).

Kemiripan juga terjadi di provinsi yang sama pada masyarakat Toraja. Mereka mengakui gender ketiga,yang disebut to burake tambolang.

Antropolog Hetty Nooy-Palm menyatakan masyarakat Toraja percaya bahwa para pemimpin agama yang paling penting dalam budaya mereka adalah seorang wanita, atau burake tattiku, dan seorang pria berpakaian sebagai seorang wanita, atau burake tambolang.

Di masa lalu, pemimpin agama transgender di Toraja dan Bugis memainkan peran penting dalam komunitas mereka. Bissu dan to burake. Mereka memimpin upacara spiritual atau ritual panen di desa-desa. Masyarakat akan mengagumi dan menghormati sebuah desa yang memiliki to burake.

Sayangnya, tradisi ini telah terkikis oleh nilai-nilai modern dan pendidikan yang dibawa oleh kolonialisme.

Praktik seks sesama jenis juga telah lama hadir di Indonesia.

Beberapa suku di tenggara Papua–mirip dengan suku-suku di dataran tinggi sebelah timur Papua Nugini–melaksanakan “ritual homoseksualitas”. Praktik ini meminta pemuda laki-laki melakukan oral seks pada laki-laki yang lebih tua sebagai bagian dari ritual mereka menuju kedewasaan. Mereka percaya bahwa air mani adalah sumber kehidupan dan intisari dari maskulinitas, sehingga penting bagi pemuda laki-laki untuk menjadi pria yang sejati.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau