Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/06/2018, 20:34 WIB
Michael Hangga Wismabrata,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah penelitian awal mengungkapkan bahwa aroma darah dapat meningkatkan selera makan kita.

Setahun lalu pada acara pameran di Science Gallery Melbourne bertema Blood-Attract and Repel, 64 peserta bersedia mengikuti sebuah uji coba ilmiah. Tanpa sepengetahuan peserta, para peneliti mempelajari sejauh mana pengaruh aroma darah terhadap selera makan mereka.

Penelitian ini didasarkan pada kolaborasi seorang psikolog, Stefan Bode, dan duet seniman Ollie Cotsaftis and Sarah McArthur untuk sebuah instalasi yang disebut Sentience.

Sentience bertujuan untuk mengetahui respons seseorang terhadap aroma darah dengan bantuan teknologi deteksi wajah milik Microsoft. Hasilnya kemudian yang diterjemahkan dalam bentuk warna yang menyimbolkan sejumlah perasaan, yaitu negatif, positif, sedih, menjijikan atau ketakutan.

Baca Juga: Infeksi Bakteri Pemakan Daging Jadi Epidemi di Australia

Dalam penelitian kali ini, Will Turner, seorang psikolog dari Universitas Melbourne, dan kolega meminta peserta untuk mencium aroma darah buatan atau air biasa yang sudah disiapkan dari sebuah wadah. 

Setelah itu, peserta melihat layar komputer dengan serangkaian gambar hidangan daging sosis hingga bangkai babi menggantung, lalu hidangan sayuran seperti jagung mendidih dan potongan paprika yang baru dicincang serta roti lapis tomat.

Para peserta kemudian diminta memberi penilaian apakah gambar makanan membuat mereka berselera atau tidak. Mereka juga ditanya mengenai tingkat kealamian, kesehatan dan kebersihan makanan yang ditunjukkan.

Hasilnya, para peserta lebih berselera ketika mencium aroma darah.

Turner, kandidat PhD di Sekolah Ilmu Psikologi Universitas Melbourne, mengatakan, hubungan antara selera makan dan aroma darah memang dikaitkan dengan makanan berbahan daging, tetapi kenyataannya hal yang sama juga terjadi pada hidangan sayur mayur.

Baca Juga: Kelelawar Drakula Pengisap Darah, Bagaimana Bisa Hidup di Muka Bumi?

Dia pun berkata bahwa hasil sementara menunjukkan tren menarik mengenai aroma darah yang patut untuk ditindaklanjuti oleh penelitian-penelitian berikutnya.

Mengapa demikian?

Sebuah studi  pada tahun 2015 di Universitas Konstanz di Jerman terhadap 89 peserta, mengungkapkan, ketertarikan terhadap aroma darah menjelaskan tahapan evolusi tentang keterampilan makhluk hidup dalam berburu dan berkelahi. Aroma darah juga bisa menjadi penanda adanya mangsa untuk diburu. 

Di sisi lain, para ahli mencatat bahwa darah mungkin bisa menjadi sinyal tanda bahaya yang jelas. Beberapa orang ditemukan memiliki reaksi fobia terhadap darah yang dapat membuat mereka pingsan.

Akan tetapi, para peneliti di Jerman dengan hati-hati menjelaskan bahwa reaksi fobia tersebut mungkin bukan disebabkan oleh darah itu sendiri, tetapi kandungannya.

Pasalnya, eksperimen lain pada tikus mengungkapkan bahwa tikus menghindari darah sesamanya yang stres, tetapi tidak dengan darah tikus yang tidak stres. Hal ini disinyalir karena hormon stres yang terkandung di dalamnya.

Oleh karena itu, para peneliti pun menyimpulkan bahwa respons seseorang terhadap aroma darah kemungkinan besar dipengaruhi oleh kondisi motivasionalnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau