KOMPAS.com - Dari atas tak ada yang aneh, lapisan es Greenland tampak seperti bidang luas es berwarna putih. Tapi jika diperhatikan lagi, ada area misterius yang disebut Zona Gelap.
Survei dengan pesawat tanpa awak menunjukkan, Zona Gelap tersebut membesar ukurannya, mencapai panjang 400 kilometer dan lebar 100 meter, membuatnya sampai terlihat pada citra satelit.
Baca juga : Dulu Hutan seperti Kalimantan, Mengapa Antartika Kini Jadi Benua Es?
Penelitian yang dilakukan oleh The Norwegian Centre for Arctic Gas Hydrate, Environment and Climate (CAGE) mengungkap data masalah zona ini.
"Apa yang kami tunjukkan adalah bahwa zona gelap tertutup lapisan halus debu tipis, karbon hitam, yang memberikan nutrisi untuk ganggang berwarna gelap. Ini membuat wilayah tersebut menjadi gelap," kata Alun Hubbard, ahli glasial dari CAGE.
Dan seperti yang sudah diketahui, warna gelap akan menyerap lebih banyak radiasi dan warna yang lebih terang.
Jadi jika es lebih gelap tentunya akan menyerap lebih banyak panas matahari dan membuat es meleleh lebih cepat.
Baca juga : Dunia yang Tersembunyi Terungkap setelah Gunung Es Antartika Pisah
Zona gelap itu berpotensi bertambah lebih luas. Bagian yang cair tersebut akan menjadi tempat tumbuh kembang alga yang ideal terutama saat musim semi dan musim panas.
"Di musim panas, alga berlimpah. Warna mereka yang gelap akhirnya justru memperkuat zona tersebut menjadi lebih gelap. Dengan demikian lapisan es berwarna gelap tersebut menyerap lebih banyak radiasi matahari yang membuat lebih banyak pencairan juga. Area itu pun berpotensi bertambah luas," jelas Hubbard.
Peneliti mengungkap, zona gelap meleleh 5 kali cepat dibandingkan permukaan salju putih dan ini mengkhawatirkan.
Pencairan yang cepat ini merupakan berita buruk untuk dunia, terutama daerah-daerah yang pasti akan terpengaruh oleh kenaikan permukaan laut.
Saat ini permukaan laut global, naik sekitar 3 milimeter per tahun. Namun angka itu tidak stabil dan peneliti tahu bahwa pencairan Greenland menyumbang besar adanya kenaikan ini.
Meski begitu mereka mencatat, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan sejauh mana efek lelehan tersebut.
Penelitian ini telah diterbitkan dalam jurnal Nature Communications.
Baca juga : Beruang Kutub Alami Bencana Kelaparan karena Pemanasan Global