KOMPAS.com - Potensi tsunami 57 meter yang merupakan hasil kajian Widjo Kongko, Ahli Tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membuat masyarakat Pandeglang, Banten resah. Mereka sempat dihantui perasaan takut akan ancaman bencana tersebut.
Namun, para pakar berpendapat bahwa fokus masyarakat dan pemerintah seharusnya bukan pada ancaman yang menyebabkan kepanikan, melainkan mitigasi sebagai upaya penyelamatan.
Demikian disampaikan oleh Guru Besar Teknik Pantai Universitas Gadjah Mada, Radianta Triatmadja dalam diskusi bertajuk “Ancaman Tsunami Menelan Pulau Jawa, Fakta atau Hoax” di Jakarta, Selasa (10/4/2018).
“Masyarakat mestinya menyikapi tidak dengan panik, itu potensi bukan prediksi. Sekarang tinggal persiapan dan kesiapsiagaan mitigasi tsunami,” tutur Radianta.
Radianta menyatakan bahwa struktur bangunan menjadi penting untuk menangkal dampak dari tsunami dan gempa yang mengawali tsunami. Sebagai contoh adalah Pacitan sebagai daerah rawan gempa dan tsunami yang telah mengupayakan pembangunan rumah panggung. Hotel-hotel di sana juga telah berstruktur supaya tahan gempa.
Baca juga : Berkaca Gempa Italia, Bagaimana Memaknai Potensi Tsunami 57 Meter?
“Dengan bangunan yang lebih kuat dan tahan gempa. Contoh di Pacitan, hotel-hotel di sana kuat melindungi rumah di belakangnya saat gempa,” ucapnya.
Selain itu, peringatan dini dan pendidikan evakuasi mengenai kesiapsiagaan bencana juga penting dalam mengurangi dampak kerugian dari tsunami dan gempa. Masyarakat harus tahu cara untuk segera mengevakuasi diri ketika peringatan dini telah diberikan.
Sayangnya, proses evakuasi kerap terhambat lantaran jalur evakuasi yang dibuat tidak steril dari keramaian. Radianta bahkan pernah menemukan kasus di mana rute yang semestinya untuk jalan justru dipakai sebagai tempat parkir karena kondisinya dekat dengan pasar.
Di samping itu, masyarakat harus tahu bahwa tsunami tidak hanya terjadi pada pagi atau siang hari saja. Tsunami juga berpeluang menghantam pada malam hari dan memicu pemadaman listrik. Ketika hal ini terjadi, proses evakuasi makin terkendala karena kondisi yang gelap gulita.
Untuk itu, pembelajaran mengenai proses evakuasi perlu dimulai dari keluarga jika tsunami menghantam ketika sedang di kantor, sekolah, atapun di rumah. “Sehingga tidak ada yang saling mencari karena terpencar. Sudah tahu harus mengungsi kemana,” imbuh Rudianta.
Baca juga : Heboh Tsunami 57 Meter, Pakar Bilang Itu Bukan Hal Baru
Tiru Jepang
Widjo Kongko yang juga hadir dalam kesempatan tersebut menambahkan, Indonesia perlu meniru langkah Jepang dalam menyiapkan mitigasi bencana, terutama tsunami. Di Jepang, masyarakat telah dibiasakan menghadapi kemungkinan terburuk dari bencana gelombang tinggi yang melahap daratan itu.
Penyebaran informasi tidak simpang siur karena sudah dibuatkan skenario. Lalu, anak-anak bisa langsung mengambil langkah cepat tanpa panik ketika tsunami dikabarkan datang. Tempat persembunyian yang aman juga telah diketahui masing-masing orang.
“Kemajuan di sana sudah bisa memetakan secara detil daerah bahaya tsunami. Masyarakat yang tinggal di daerah tsunami telah dilatih kesiapsiagaan bencana dari usia sekolah,” tuturnya.
Pemetaan secara detil itu terwujud dalam tata ruang di Jepang yang disebut multi-layer, yakni ada jarak aman dengan bibir pantai yang memang tidak diperuntukkan sebagai hunian, untuk mencegah banyaknya korban berjatuhan saat tsunami.
Baca juga : Menyoal Potensi Tsunami 57 Meter, Bisakah Kajian Ilmiah Dipidanakan?
Oleh karena itu, pengelolaan seperti di Jepang patut diadaptasi di Indonesia melalui suatu program. Masyarakat pun patut dilibatkan sebagai pihak yang paling terdampak dan mengenal karakteristik tempat tinggal mereka.
“Di Indonesia harus ada program mitigasi tsunami. BNPB dan BMKG bisa mengupayakan lewat sosialisasi, pelatihan, diskusi kelompok untuk menentukan zona aman,” tandasnya.
Sementara itu, Abdul Rahman Ma’mun, Ketua Komisi Informasi Pusat tahun 2011-2013 menuturkan bahwa Indonesia sebenarnya telah menjalankan program tangguh bencana yang digagas oleh BNPB. Program ini telah merancang simulasi bencana supaya masyarakat tidak kaget ketika bencana benar-benar datang.
“Simulasi itu termasuk edukasi semenjak menerima informasi bencana, menyikapi informasi tersebut, hingga pelatihan menghadapi bencana,” imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.