KOMPAS.com - Teknik pemantauan hewan yang terancam punah di dalam hutan saat ini membutuhkan biaya mahal dan tidak efisien. Untuk itu, ahli menggunakan perangkat lunak yang sering dipakai astronom ketika mengamati bintang di luar angkasa.
Perlu diketahui, para astronom memiliki teknik pengamatan melalui jejak panas sebuah bintang untuk mengetahui usia dan ukuran sebuah bintang di luar angkasa.
Hal tersebut menginspirasi Serge Wich dan Steve Longmore, dua ahli dari Universitas Liverpool John Moores, untuk merancang sistem yang secara otomatis mampu mendeteksi pola panas di tubuh binatang melalui kamera yang dipasang di sebuah drone.
Ahli kehutanan dan astrofisikawan tersebut sudah mempresentasikan ide mereka di forum tahunan European Astronomical Society di Inggris.
"Konservasi tidak hanya tentang jumlah hewan, tetapi juga tentang kemauan politik dan masyarakat lokal yang mendukung konservasi. Namun, data yang lebih baik selalu membantu untuk memajukan argumen yang baik. Data yang solid tentang apa yang terjadi pada populasi hewan adalah dasar dari semua upaya konservasi," ungkap Wich, dikutip dari BBC, Selasa (3/4/2018).
Baca Juga: Pentingnya "Super Blue Blood Moon" bagi Dunia Astronomi
Pada umumnya, para peneliti banyak mengalami kendala saat memutuskan sebuah spesies sudah punah atau tidak. Mereka harus menghitung jumlah hewan yang tersisa atau mengamati tanda-tanda yang ditinggalkan.
Hal tersebut sangat mustahil dilakukan ketika lokasi habitat hewan sulit ditembus. Belum lagi apabila hewan yang diamati sudah pindah ke tempat lain yang belum tercatat pada rekam data. Metode lama tersebut memboroskan biaya dan menyita banyak waktu.
Melihat kondisi itu, Wich pun mengembangkan sistem perangkat lunak dengan menggunakan kamera dan drone tersebut. Menurut dia, sistem ini sangat terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut agar lebih akurat.
Uji coba mereka lakukan di Kebun Binatang Chester dan Taman Safari Knowsley. Kamera berhasil melacak hewan melalui suhu panas dari hewan di darat, tetapi kesulitan mengenali jenis binatang yang posisinya jauh.
Wich dan Longmore pun menggandeng Dr Claire Burke, seorang astrofisikawan, untuk memecahkan masalah tersebut.
Menurut Burke, setiap spesies memiliki daerah lebih hangat dan lebih dingin yang unik di tubuh mereka.
"Ketika kita melihat hewan dengan pengukur suhu inframerah, kita melihat panas tubuh mereka dan mereka bersinar dalam rekaman. Cahaya itu sangat mirip dengan cara bintang dan galaksi dalam cahaya ruang angkasa," jelas Dr Burke.
Burke pun berkata kepada BBC News bahwa teknik dan perangkat lunak astronomi yang secara otomatis mendeteksi dan mengukur cahaya dapat diterapkan untuk mengenali berbagai jenis pola panas dari tubuh binatang.
Baca Juga: Bagaimana Memastikan Suatu Hewan Terancam Punah atau Tidak?
Menurut Burke, perangkat lunak tersebut juga dapat memberikan informasi tentang kondisi kesehatan hewan. Apabila seekor hewan terluka maka bagian tubuh hewan itu akan bersinar lebih terang daripada yang lain. Demikian pula dengan hewan yang sakit, mereka akan memancarkan pola panas yang berbeda.
"Keuntungan yang dapat diperoleh adalah Anda dapat mengetahui jumlah hewan dan kondisi kesehatan mereka, sehingga Anda dapat merumuskan strategi konservasi yang baik untuk merawat mereka," katanya.
"Apabila Anda dapat melacaknya juga, maka Anda dapat mengetahui apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup dan berkembang, informasi ini membantu kita. Jika, misalnya, kita perlu memindahkan hewan karena habitatnya rusak, Anda akan lebih tahu apa yang dibutuhkannya untuk relokasi," lanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.