BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Dexa Medica

Diproduksi di Indonesia, Obat Kanker Kini Lebih "Ramah Kantong"

Kompas.com - 22/03/2018, 14:52 WIB
Alek Kurniawan,
Dimas Wahyu

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Setiap tahun, jumlah kasus kanker limfoma terus meningkat. Pada 2012, Global Burden Cancer mencatat adanya peningkatan jumlah pasien kanker limfoma (non-hodgkin) untuk laki-laki sebesar 6 persen dan pasien perempuan mencapai 4,1 persen per tahun.

Hasil riset tersebut membuat kanker limfoma menjadi salah satu dari sepuluh penyakit kanker yang memiliki pasien terbanyak di dunia pada tahun yang sama.

Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan, sekitar 1 juta orang di dunia menderita kanker limfoma pada 2013. Dari total tersebut, sebanyak 14.905 pasien berasal dari Indonesia.

Di Indonesia sendiri, kanker limfoma juga dikenal dengan nama kanker kelenjar getah bening. Nama tersebut merujuk kepada bagian tubuh yang diserang, yakni sistem limfatik.

Sistem limfatik merupakan bagian penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia. Sebabnya, sistem ini menghubungkan kelenjar limfe atau kelenjar getah bening di seluruh tubuh.

Penyebab kanker limfoma

Gejala utama yang dialami oleh penderita bila sudah terinfeksi adalah munculnya benjolan pada bagian leher, ketiak, atau lipat paha. Benjolan ini biasanya tidak disadari oleh penderita dan tidak terasa sakit.

Selain benjolan, terdapat pula sejumlah gejala lain yang mungkin dirasakan oleh penderita limfoma, di antaranya suhu tubuh turun-naik, cepat merasa lelah, sesak napas, gatal terus-menerus di seluruh tubuh tanpa sebab (ruam), serta pembesaran amandel.

Apabila seseorang sudah mengalami gejala-gejala tersebut, disarankan untuk segera berkonsultasi kepada dokter agar mendapatkan perawatan dan diagnosis yang tepat. Pada tahap ini, dokter akan melakukan tes biopsi kelenjar getah bening untuk mengetahui tipe kanker limfoma yang diderita.

Tipe kanker limfoma sendiri terbagi menjadi dua jenis, yakni limfoma hodgkin (LH) dan limfoma non-hodgkin (LNH). Faktanya, 90 persen dari penderita kanker limfoma merupakan penderita limfoma non-hodgkin.

Ilustrasi kanker limfomaSHUTTERSTOCK Ilustrasi kanker limfoma

Sulit dan mahalnya pengobatan kanker limfoma

Pada dasarnya, beberapa kasus limfoma dapat disembuhkan. Meski demikian, harga obat yang mahal dan jumlah terbatas karena sebagian masih diimpor menjadi kendala pengobatan kanker limfoma.

Terkait tingginya harga obat kanker ini, jurnal US National Library of Medicine-National Institutes of Health (www.ncbi.nlm.nih.gov) menunjukkan hasil studi tentang perbandingan harga obat-obatan kanker di seluruh dunia.

Hasil studi tersebut menggambarkan, pasien yang menggunakan obat-obatan dari Amerika Serikat harus merogoh kocek sebesar 8.694 dollar Amerika atau sekitar Rp 118 juta untuk satu orang per bulannya.

Sama halnya dengan harga obat kanker di Jerman. Prof Bernhard W?rmann, seorang ahli onkologi melalui jurnal ilmiahnya menjelaskan bahwa pasien kanker yang dirawat di sana menghabiskan rata-rata 8.000 euro atau setara Rp 141 juta per bulannya.

Ilustrasi pasien dan dokterSHUTTERSTOCK Ilustrasi pasien dan dokter

Pengalaman tersebut pernah dialami oleh Rudy Soetikno (Alm) yang pernah menderita kanker limfoma non-hodgkin delapan tahun silam. Pada saat itu, ia didiagnosis terkena kanker limfoma pada usia 78 tahun.

Selain kanker, Rudy juga menderita penyakit jantung yang membuatnya harus menjalani pengobatan yang berbeda dari pasien biasanya.

Dia menceritakan bahwa ada ketidakcocokan atau resistant antara obat kanker limfoma dan jantung. Karena itu, kombinasi obat yang diperlukannya cukup sulit untuk diperoleh.

Harapan muncul dari saran sahabatnya, seorang dokter di Jerman, untuk melakukan pengobatan kombinasi bendamustine dan rituximab. Namun, ia tetap kesulitan menemukan obat tersebut di Indonesia.

Bahkan, Singapura yang digadang-gadang mempunyai teknologi medis mumpuni pun tidak mempunyai obat tersebut.

Akhirnya, sesuai saran dari sahabatnya tersebut, Rudy menjalani pengobatan di Muenchen, Jerman, dengan biaya yang relatif mahal.

Menurut dr Med Lothar Boning yang merawat Rudy, pengobatan bendamustine memberikan hasil bebas penyakit yang lebih lama pada pasien. "Setelah satu siklus pengobatan, ukuran tumor akan berkurang signifikan," katanya seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (2/2/2018).

Baca juga: Mimpi Pendiri Dexa Sediakan Obat Kanker Limfoma Produksi Lokal

Hasil penelitian yang dilakukan Prof Rummel MJ, MD, PhD, dari Jerman juga menunjukkan kesimpulan, pasien dengan terapi bendamustine yang dikombinasikan dengan rituximab dapat meningkatkan masa bebas penyakit atau remisi sampai 10 tahun.

Berkat pengobatan tersebut, kanker Rudy pun bisa dikontrol. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Selain dirinya, masih banyak masyarakat Indonesia yang menderita kanker limfoma dan mengalami kendala soal keterjangkauan obat kanker.

Terinspirasi

Rudy yang juga lulusan Pendidikan Farmasi di Institut Teknologi Bandung itu pun terinspirasi untuk memproduksi obat kanker di Indonesia.

Berangkat dari niat mulianya ini, ia mendirikan PT Fonko International Pharmaceuticals untuk memproduksi obat-obatan onkologi. Harapannya, para penderita kanker di Indonesia bisa mendapatkan terapi yang efektif dan harga yang lebih terjangkau.

Penderita kanker limfoma di Indonesia bisa sedikit terbantu dengan adanya obat buatan Indonesia yang harganya lebih terjangkau dan mudah didapatkan.SHUTTERSTOCK Penderita kanker limfoma di Indonesia bisa sedikit terbantu dengan adanya obat buatan Indonesia yang harganya lebih terjangkau dan mudah didapatkan.

“Fasilitas Fonko ini merupakan fasilitas yang bisa dibanggakan oleh Indonesia karena akan bisa memproduksi obat kanker dengan riset dan pengembangan putra-putri Indonesia,” ujarnya saat sambutan peresmian pada 2014 silam.

Ia juga menambahkan, produk yang dihasilkan ini memiliki standar kualitas yang tinggi dengan penggunaan teknologi dan sistem produksi yang cermat dan tepat guna. Sistem yang dikembangkan ini juga mampu memadukan desain pabrik, peralatan produksi, dan laboratorium yang memadai.

Fonko juga merancang kapasitas pabriknya sehingga mampu memproduksi obat kanker sebanyak 4 juta vial (benda penampung cairan, bubuk, atau tablet farmasi) per tahun. Jumlah tersebut terdiri dari 3 juta vial domestik dan 1 juta lyophilized powder.

Empat tahun setelah peresmian, akhirnya Fonko bisa memproduksi obat kanker tersebut. Obat dengan kandungan bendamustine rituximab yang dipasarkan oleh PT Ferron Par Pharmaceuticals ini akan masuk dalam formularium nasional atau ditanggung Jaminan Kesehatan nasional (BPJS Kesehatan) sekitar April atau Mei 2018.

"Dengan harganya yang lebih terjangkau, produksi obat ini bisa membantu pasien Indonesia dan mengurangi ketergantungan pada obat impor," kata Presiden Direktur PT Ferron Par Parmaceuticals, Krestijanto Pandji.

Dengan usaha tersebut, pasien kanker limfoma kini tak perlu lagi kesulitan mendapatkan obat-obatan kanker. Biaya yang dikeluarkan pun jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan pembelian obat impor.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Diproduksi di Indonesia, Obat Kanker Kini Lebih “Ramah Kantong”", http://dummy.kompas.com/dexamedica/2018/0320/artikel.html.
Penulis : Dimas Wahyu
Editor : Dimas Wahyu


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau