KOMPAS.com — Stephen Hawking yang meninggal pada 14 Maret 2018 merupakan salah satu fisikawan teoritis paling ternama dalam sejarah. Karyanya mengenai asal-usul dan struktur alam semesta merevolusi fisika menjadi yang kita kenal sekarang.
“Belum pernah ada ilmuwan setelah Albert Einstein (selain Hawking) yang bisa memikat imajinasi publik dan mendekatkan dirinya dengan puluhan juta manusia di seluruh dunia,” kata Michio Kaku, profesor fisika teoritis di City University of New York, seperti dilansir dari New York Times, Rabu (14/3/2018).
Hawking lahir di Inggris pada 8 Januari 1942. Dia mempelajari ilmu fisika di University College walaupun ayahnya memintanya belajar pengobatan. Setelah lulus, dia meneliti kosmologi di Cambridge University.
Pada awal 1963, Hawking yang saat itu mau berulang tahun yang ke-21 didiagnosis amyotrophic lateral sclerosis (ALS) atau penyakit Lou Gehrig. Dia sempat dikira hanya akan bisa bertahan hidup selama dua tahun, tetapi nyatanya bisa hidup hingga usia 76 tahun.
Baca juga: Breaking News: Stephen Hawking Meninggal Dunia
Namun, penyakit ALS yang diderita Hawking bukan tanpa dampak. Ia perlahan-lahan kehilangan kemampuannya untuk bergerak dan harus memakai kursi roda.
Pada 1985, Hawking harus menjalani operasi trakeostomi yang membuatnya kehilangan kemampuan untuk berbicara. Untungnya, sebuah alat yang dibuat oleh Cambridge University membantunya untuk berkomunikasi. Hawking bisa memilih kata-katanya hanya dengan menggerakan otot pada pipi.
Seorang Genius
Penyakitnya tidak mematahkan keinginan Hawking untuk mengeksplorasi alam semesta. Selama kariernya, Hawking mencoba menguak misteri alam semesta. Dia pun berhipotesis bahwa jika alam semesta memiliki awal, yaitu Big Bang, maka ia akan memiliki akhir juga.
Hawking bekerja sama dengan pakar kosmologi Roger Penrose dan mendemonstrasikan Teori Relativitas Umum Albert Einstein yang menunjukkan bahwa ruang angkasa dan waktu dimulai pada kelahiran alam semesta dan berakhir dengan lubang hitam.
Memadukan teori Einstein dan teori kuantum, Hawking menemukan bahwa lubang hitam tidak diam saja. Lubang hitam justru berdesis, mengeluarkan radiasi dan partikel, sebelum akhirnya meledak dan menghilang.
Ketika menyadari hal ini, Hawking sendiri sempat tidak memercayainya. Namun, semua kalkulasinya kembali ke hasil yang sama.
Baca juga: Meski Idap ALS, Stephen Hawking Mampu Bertahan 55 Tahun dan Punya Anak
Hasil tersebut kemudian dipublikasikan pada 1974 dalam artikel berjudul “Ledakan Lubang Hitam?” di jurnal Nature dan memunculkan konsep baru bernama radiasi Hawking.
Pada 2014, Hawking merevisi teorinya dan menyatakan bahwa lubang hitam tidak ada, setidaknya lubang hitam yang kita kenal secara tradisional.
Dalam teori baru yang kontroversial ini, Hawking tidak mengakui adanya horizon peristiwa atau batas lubang hitam. Sebaliknya, dia berkata lubang hitam memiliki horizon yang akan berubah menurut perubahan kuantum.
Selain itu, Hawking juga mengklaim bahwa alam semesta ini tidak memiliki batas. Walaupun jumlah planetnya terbatas, seseorang bisa mengelilingnya tanpa batas dan tidak akan pernah bertemu dinding.