Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teka-teki Cara Serat Menyehatkan Tubuh Terungkap, Begini Mekanismenya

Kompas.com - 02/01/2018, 17:30 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Sudah lama kita mengetahui bahwa serat dari buah dan sayur baik untuk tubuh. Serat dapat mengurangi risiko diabetes, jantung, dan artritis.

Tak heran, orang yang mengonsumsi serat lebih banyak akan memiliki umur yang lebih lama dibanding mereka yang tidak mengonsumsinya.

Meski manfaatnya jelas, tapi para ahli belum mengetahui alasan pasti dibalik kehebatan serat.

Berangkat dari hal tersebut, Fredrik Bäckhed, seorang ahli biologi dari Universitas Gothenburg, Swedia, bersama rekannya melakukan eksperimen untuk mencari tahu peran serat untuk kesehatan manusia.

Dari penelitian yang sudah dilakukan, Fredrik dan timnya menemukan bahwa sebenarnya serat tidak memberikan manfaat secara langsung untuk tubuh.

Baca juga : Penuhi Kebutuhan Serat, Rahasia Sukses Diet

Sebaliknya, serat justru memberi makan pada miliaran bakteri di dalam tubuh. Hal inilah yang membuat bakteri bahagia sehingga usus dan sistem kekebalan tubuh tetap dalam keadaan baik.

Seperti dilansir dari New York Times, Senin (1/1/2018), ketika tubuh mencerna makanan, tubuh membutuhkan enzim untuk memecah molekul. Pecahan atau fragmen molekuler itu kemudian akan melewati dinding usus dan diserap usus.

Namun, tubuh hanya memiliki rangkaian enzim yang terbatas dan membuat tubuh sulit untuk memecah senyawa sulit pada makanan. Istilah serat makanan sebenarnya mengacu pada molekul yang tidak dapat dicerna.

Usus dilapisi dengan lapisan lendir yang memiliki ratusan spesies bakteri, bagian dari mikrobioma pada manusia. Beberapa mikroba itu memiliki enzim yang berguna untuk memecah beragam serat makanan.

Kemampuan bakteri untuk membantu memecah serat makanan telah membuat para ahli bertanya-tanya, apakah mikroba yang ada di dalam buah dan sayur memberi manfaat untuk tubuh.

Dua studi terperinci yang belum lama ini diterbitkan di jurnal Cell Host and Microbe memberi bukti kuat, bahwa jawabannya adalah ya.

Baca juga : 14 Makanan yang Dianggap Sehat Ini Ternyata Tak Terlalu Berpengaruh

Andrew T. Gewirtz dari Georgia State University dan koleganya membagi tikus dalam dua kelompok berbeda, yakni tikus yang diet rendah lemak dan tinggi lemak.

Lewat pemeriksamaan fragmen DNA bakteri pada kotoran hewan, peneliti itu memperkirakan populasi bakteri dalam usus tikus.

Kelompok tikus rendah lemak mengalami penurunan bakteri sampai sepuluh kali lipat.

Dr. Bäckhed dan koleganya juga melakukan percobaan serupa dengan mengamati mikrobioma pada tikus, saat beralih dari makanan kaya serat ke makanan dengan serat rendah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com