Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Bocah Ini Nyaris Mati Setelah Menggigit Hot Dog?

Kompas.com - 08/09/2017, 21:49 WIB
Lutfy Mairizal Putra

Penulis

KOMPAS.com –- Seorang anak laki-laki berusia 9 tahun di Turki melahap satu gigitan besar hot dog saat makan siang di sekolah. Namun bukannya kenyang, bocah itu justru nyaris terbunuh.

Mungkinkah bocah itu tersedak? Hal itu mungkin saja terjadi. Saluran udara untuk bernafas bisa terhambat oleh makanan sehingga menyebabkan kematian.

Akan tetapi, hasil pemeriksaan berkata lain. Setelah bocah itu pingsan, dia dilarikan ke unit perawatan intensif anak-anak di sebuah rumah sakit.

(Baca juga: Dokter Angkat Batu Sebesar Telur Burung Unta dari Kandung Kemih Pria)

Dilansir dari Live Science 7 September 2017, hasil tes elektrokardiograf (EKG) dan tes latihan stres menunjukkan si bocah dalam keadaan normal. Namun, irama denyut jatung menunjukkan kondisi yang mencurigakan. Seorang spesialis jantung mendeteksi pola Brugada tipe 1 pada EKG bocah laki-laki tersebut.

Dr Elizabeth Saarel, Ketua Kardiologi Anak-anak di Cleveland Clinic Children di Ohio, Amerika Serikat, berkata bahwa gigitan besar membuat saraf vagal yang berfungsi untuk berbicara dan menelan jadi terganggu. Saat sebongkah makanan besar melesat ke tenggorokan, detak jantung melambat dan membuat tekanan darah menurun.

Pada pengidap sindrom Brugada, kondisi itu bisa membuat nyawa berada di ujung tanduk. Efeknya bisa pingsan, serangan jantung mendadak, atau kematian mendadak.

Organisasi Nasional untuk Penyakit Langka menyebutkan bahwa sindrom Brugada merupakan penyakit warisan yang terbilang langka. Sindrom ini mengganggu impuls listrik antara ventrikel atau bilik bawah jantung dan membuat detak jantung tidak normal. Konsekuensinya, jantung tidak memompa cukup darah untuk seluruh anggota tubuh.

(Baca juga: Mengenal Penyakit Hirschsprung yang Bikin Pria 22 Tahun Tampak Hamil)

Dilaporkan dalam jurnal Pediatrics pada 6 September 2017, nama Brugada diambil dari ahli kardiologi Spanyol yang menggambarkan kondisinya patologisnya pada 1992. Penyakit ini cenderung terjadi pada laki-laki dan lebih sering terjadi pada keturunan Asia.

Terkadang, ritme jantung yang abnormal ini pertama kali dideteksi ketika anak mengalami demam tinggi yang bisa membuat jatung iritasi. Denyut jantung yang tak normal juga bisa dipicu akibat konsumsi alkohol berlebih, obat jenis tertentu, atau bahkan saat seseorang tengah terlelap.

Sayangnya, belum ada obat yang dapat digunakan untuk mengobati sindrom Brugada. Oleh karena itu, bocah tersebut diberi implantable cardioverter defibrillator (ICD), sebuah alat yang ditempatkan di luar kulit, dekat posisi jantung. ICD akan memonitor irama jantung dan memberikan kejutan listrik kecil untuk mengendalikan detak jantung yang tidak normal.

Lalu, karena merupakan penyakit turunan, ayah dan saudara laki-laki bocah itu juga diperiksa untuk melihat tanda-tanda sindrom Brugada. Hasilnya, hanya ayah yang terbebas dari irama jantung abnormal. Menurut Saarel, kondisi itu merupakan kasus langka di mana hanya saudara laki-lakinya yang berpotensi Brugada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com