KOMPAS.com – Sebuah studi baru yang dipublikasikan dalam British Journal of Sports Medicine baru saja mendapat kecaman keras dari para pakar karena mengusulkan bahwa gula perlu dianggap sebagai senyawa yang bisa menyebabkan kecanduan.
Dalam studi tersebut, peneliti kesehatan jantung James J DiNicolantonio dan pakar kardiologi James H O Keefee dari Mid America Heart Institute di Kansas, serta dokter dari Lahey Health, William Wilson, menulis bahwa gula bisa menjadi awal dari kecanduan alkohol dan senyawa lainnya.
Mereka juga berkata bahwa seperti halnya kokain dan opium, gula melalui proses refinasi dari tanaman untuk menghasilkan kristal putih, dan proses ini menambahkan efek adiksi pada gula.
(Baca juga: Gula Memang Memberi Makan Sel Kanker, tetapi...)
“Mengonsumsi gula menghasilkan efek yang serupa dengan kokain, yaitu mengubah mood, kemungkinan melalui kemampuan untuk menstimulasi sistem reward dan rasa senang, sehingga membuat seseorang terus mencari gula,” tulis mereka.
Para peneliti mengonklusikannya setelah mereka mendapati bahwa tikus lebih memilih rasa manis daripada kokain dan bisa mengalami gejala putus gula.
“Pada hewan, (gula) ternyata lebih adiktif daripada kokain, jadi gula bisa dibilang adalah senyawa adiktif paling dikonsumsi di dunia dan ia kini merusak kesehatan kita,” kata DiNicolantonio kepada The Guardian 25 Agustus 2017.
Akan tetapi, konklusi DiNicolantonio dan kolega dibantah oleh psikiater Universitas Cambridge, Hisham Ziauddeen, yang pernah mengulas berbagai studi mengenai adiksi terhadap gula. Menurut Hisham, DiNicolantonio dan kolega telah salah menginterpretasikan studi mereka sendiri.
“Studi pada tikus menunjukkan bahwa Anda hanya mendaptkan perilaku seperti kecanduan bila Anda membatasi mereka untuk hanya bisa memakan gula setiap dua jam dalam sehari. Jika Anda membiarkan mereka untuk memakan kapan saja seperti cara manusia mengonsumsinya, mereka tidak akan menunjukkan perilaku tersebut,” ujarnya.
(Baca juga: Gula Rendah Kalori Tak Bantu Turunkan Berat Badan, Ini Buktinya)
Dia melanjutkan, kombinasi dari akses yang terbatas dan gulalah yang menyebabkan perilaku tersebut. Anda juga akan mendapat efek yang sama jika menggunakan pemanis buatan sakarin, jadi tampaknya ini lebih mengarah pada rasa manis daripada gula.
Ziauddeen juga menambahkan bahwa secara alami, tikus akan mencari makanan manis, sekalipun mereka telah kencanduan kokain.
Maggie Westwater, penulis lain yang menulis ulasan bersama Ziauddeen, juga berkata bahwa perilaku cemas yang ditunjukkan oleh tikus setelah memakan gula bukanlah tanda-tanda adiksi yang jelas karena dibarengi oleh puasa berkepanjangan.
Lalu, berbeda dengan kokain, tikus yang menghadapi kejadian tidak menyenangkan seperti sengatan listrik tidak mencari gula sebagai pelarian, meskipun keduanya sama-sama direspons oleh bagian otak yang sama.
Nyatanya, kata Ziauddeen, sistem otak yang mengontrol perilaku makan sama dengan sistem otak yang merespons narkoba. Namun, bedanya adalah narkoba dapat membajak sistem tersebut dan mematikan kontrol normal otak. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh gula.
(Baca juga: “Sugar High”, Mitos atau Fakta?)
Namun, tidak semua orang berlawanan dengan DiNicolantonio dan kolega. Profesor kesehatan anak di University fo California, Robert Lustig, yang menyebut gula sebagai “alkohol untuk anak-anak” berkata bahwa kristal putih yang manis tersebut setara dengan narkoba lemah seperti nikotin, meski tidak sampai menyaingi heroin.
Akan tetapi, Ziauddeen menekankan bahwa gula, bila dilihat dari pandangan metabolisme dan obesitas, sebenarnya tidak berbahaya. “Masalahnya adalah ketika gula ini dituang dalam jumlah banyak ke dalam berbagai macam makanan dan melipatgandakan kandungan kalori di dalam makanan-makanan tersebut,” katanya.
Profesor emeritus bidang nutrisi dan pola makan di King’s College, Tom Sanders, setuju. Dia berkata bahwa indera perasa manusia untuk gula adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Rasa manis juga dapat membantu kita mengenali makanan yang kaya akan vitamin C.
“Masalah terbesar dari gula adalah kerusakan gigi. (Gula) hanya menyebabkan obesitas secara langsung melalui konsumsi minuman manis yang berlebihan,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.