Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesepakatan Paris Dikritik

Kompas.com - 13/12/2015, 11:32 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

PARIS, KOMPAS.com - Konvensi Perubahan Iklim 2015 di Paris telah berakhir dengan lahirnya kesepakatan baru yang disebut Kesepakatan Paris untuk penanganan perubahan iklim global. Walau konvensi yang harusnya berakhir tanggal 11 Desember 2015 itu harus diperpanjang satu hari karena sulitnya menemukan kesepakatan.

Betulkah Kesepakan Paris menjadi solusi?

“Bagi politisi, ini adalah kesepakatan yang adil dan ambisius, namun hal ini justru sebaliknya. Kesepakatan ini pasti akan gagal dan masyarakat sedang ditipu. Masyarakat terdampak dan rentan terhadap perubahan iklim mestinya mendapat hal yang lebih baik dari kesepakatan ini. Mereka yang paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” kata Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan Energi Friends of the Erath International dalam keterangan persnya.

Menurut Bathnagar, negara-negara maju telah menggeser harapan sangat jauh dan memberikan rakyat kesepakatan palsu di Paris. Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, negara-negara maju telah mendorong sebuah kesepakatan yang sangat buruk.

Negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa mestinya membagi tanggung jawab yang adil untuk menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Namun di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.

Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI (Friends of the Earth Indonesia) menegaskan, bagi Indonesia, kesepakatan di Paris akan memberikan dampak sangat signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

"Kesepakatan iklim di Paris, tidak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, dan dengan demikian, lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan dan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan," jelasnya.

Sikap pemerintah Indonesia yang sangat pragmatis dan tidak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris, sesungguhnya telah meletakkan Indonesia sebagai negara yang hanya mengikut pada kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia lebih mementingkan dukungan program yang merupakan bagian dari mekanisme pasar yang telah dibangun oleh negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.

“Kita tidak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang lebih maju, jika pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih menjadi bagian dari skema pasar, khususnya hanya untuk memenuhi hasrat negara maju untuk mitigasi perubahan iklim," kata Kurniawan.

Ia melanjutkan, "Dukungan yang dimaksudkan pemerintah Indonesia dari Kesepakatan Paris tidak akan berarti dan tidak akan berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir dan laut, menghentikan penggunaan energi dari sumber kotor batubara, serta menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.”

Sebagai catatan kritis, beberapa masalah penting yang menjadi analisis group Friends of the Earth terkait Kkesepakatan Paris, yakni, pertama, Kesepakatan Paris menegaskan bahwa 2 derajat Celcius atau 2C merupakan tingkat maksimum kenaikan temperatur global, dan bahwa setiap negara harus meningkatkan upaya untuk membatasi peningkatan temperatur hingga batas 1,5 dearajat Celcius.

Hal ini tidak akan berarti tanpa mensyaratkan negara-negara maju untuk memangkas emisi mereka secara drastis dan memberikan dukungan finansial sesuai tanggung jawab yang adil, serta memberikan beban tambahan kepada negara-negara berkembang.

Kedua, tanpa kompensasi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, negara-negara yang rentan akan menaggung berbagai masalah dan beban dari krisis yang sebenarnya bukan diciptakan oleh mereka.

Ketiga, tanpa finansial yang memadai, negara-negara miskin akan dijadikan sebagai pihak yang harus menaggung beban dari krisis yang tidak berasal dari mereka. Pendanaan tersedia, namun kemauan politik tidak ada.

Keempat, satu-satunya kewajiban yang mengikat secara hukum bagi negara maju adalah mereka harus melaporkan seluruh pendanaan yang mereka sediakan.

Kelima, pintu sangat terbuka bagi pasar untuk mengeksploitasi krisis iklim tanpa pembatasan secara spesifik dalam teks. Hal ini menjadi kartu bebas bagi poluter terbesar dalam sejarah.

Dalam kasus REDD+ misalnya, yang terjadi negara-negara maju akan mendukung proyek perkebunan yang merusak di negara-negara berkembang dan bukannya berupaya mengurangi emisi dari bahan bakar fosil di negeri mereka sendiri.

Pada hari akhir negosiasi iklim di Paris, lebih dari 2.000 orang aktivis federasi Friends of the Earth International bersama ribuan masyarakat Paris melakukan aksi untuk menyampaikan pesan global bagi keadilan klim dan perdamaian (Climate Justice Peace) yang tersebar di tengah kota Paris. Aksi ini sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang dimobilisasi  Friends of the Earth International untuk menilai dan menyampaikan tuntutan masyarakat sipil untuk keadilan iklim selama proses Konferensi Perubahan Iklim PBB di Paris.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com