Budidaya Ikan Endemis Belum Jadi Kepedulian

Kompas.com - 25/07/2015, 15:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Beragam ikan endemis atau khas perairan tertentu bisa menjadi bahan pangan. Namun, pemerintah cenderung fokus membudidayakan jenis ikan pangan umum, termasuk spesies asing dan invasif. Jika budidaya ikan endemis tetap diabaikan, satu per satu kekayaan jenis asli Indonesia bisa punah.

"Ikan endemis bisa menguntungkan, tapi penelitian yang unggul sebagai bahan konsumsi sangat minim," kata peneliti budidaya ikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fauzan Ali, di Jakarta, Jumat (24/7). Ikan endemis Indonesia beragam. Kalimantan saja, diperkirakan ada 200 jenis ikan asli.

Ikan asing invasif untuk menyebut ikan dari luar (impor maupun luar daerah) yang dilepaskan di perairan tertentu. Ikan-ikan itu berkembang dan memangsa ikan-ikan asli/lokal.

Fauzan mencontohkan, pemerintah bisa mengucurkan dana miliaran rupiah untuk riset nila (Oreochromis niloticus) menghasilkan strain unggul, sehingga tiap lima tahun muncul strain baru: nila merah, nila gesit, dan nila nirwana. Padahal, ikan itu berasal dari Sungai Nil di Afrika.

Budidaya ikan asli kerap tak berjalan dengan alasan pertumbuhan ikan lambat, tubuh kecil, dan rasa tak enak. "Namun, itu karena belum riset. Nila juga bakal kecil-kecil jika tidak rutin ada riset," tutur Fauzan.

Ia membuktikan dengan riset awal budidaya ikan asli, karena permintaan Pemerintah Provinsi Riau, yakni ikan papuyu (Anabas testudineus), selama 2009-2011. Masyarakat Riau, Jambi, dan Kalimantan, sangat menggemari papuyu, tetapi ikan ini hanya bisa didapat saat musim hujan. Fauzan mempelajari habitat, perilaku, dan kebiasaan kawin agar bisa bertelur sepanjang tahun.

Fauzan dan tim berhasil merangsang perkawinan agar ikan terus bertelur, tetapi setelah pemijahan dan bertelur, usia anakan ikan kurang dari sepekan. Ternyata, anak papuyu sangat halus dengan ukuran mulut 90 mikron (0,09 mm) sehingga tak bisa memakan pakan terlalu besar. Lalu, tim menerapkan nanoteknologi dan menciptakan pakan ukuran nano, 50 mikron (0,05 mm).

Dana riset berkisar Rp 200 juta hingga Rp 300 juta per tahun. Namun, kata Fauzan, riset selama ini tak berjalan karena belum prioritas. Ia juga sempat diragukan saat mengajukan riset budidaya papuyu, karena ikan itu tidak laku di Jawa.

Namun, setelah dipelajari, ternyata ikan papuyu kaya omega 3 yang meningkatkan kecerdasan anak dan mengontrol kolesterol. Contoh lain, ekstrak dari ikan gabus mengandung kadar albumin tinggi yang turut mempercepat penyembuhan pasca operasi, sehingga pasien tak bolak-balik ke rumah sakit. "Jika riset tak dimulai, manfaat-manfaat itu tidak akan pernah ditemukan," kata Fauzan.

Pada sisi lain, ikan pangan endemis bisa menarik wisata konservasi lingkungan dan mempromosikan rasa khas ikan. Conohnya, Jepang mempromosikan penangkapan ikan ayu (sweetfish) yang turun ke hilir sungai setelah musim panas di daerah tertentu. Meski rasa ikan ayu tak istimewa, aktivitas pada waktu tertentu itu jadi daya tarik turis.

Dengan kata lain, budidaya ikan asli lokal tak hanya melestarikan keragaman hayati, tetapi juga mendatangkan keuntungan. Tinggal menunggu kemauan, terutama pemda.

Pakar limnologi LIPI, Gadis Sri Haryani, mengatakan, pemerintah semestinya sudah menghentikan distribusi benih ikan-ikan pangan yang umum. Apalagi spesies invasif semacam nila. "Saatnya dinas-dinas perikanan dan kelautan mengembangkan budidaya ikan khas kabupaten/kota masing-masing," ucapnya.

Peneliti karsinologi LIPI, Daisy Wowor, menuturkan, introduksi ikan asing tak hanya mengancam populasi ikan lokal, tetapi juga udang endemis. (JOG)

________________________

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul "Budidaya Ikan Endemis Belum Jadi Kepedulian".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau