Gambar Cadas Tertua di Sulawesi Boleh "Dijual", asal...

Kompas.com - 18/10/2014, 09:00 WIB

KOMPAS.com — Ada harapan besar ketika gambar cadas di Leang Timpuseng terungkap berusia 39.900 tahun di Maros, Sulawesi, yaitu bahwa goa dan gambar cadas bisa dikembangkan sebagai tujuan wisata.

Pengembangan goa-goa di Maros dan gambar cadas di dalamnya memang gagasan bagus. Namun, ada pula risiko kerusakan ketika terlalu banyak orang yang masuk ke dalamnya. Di samping itu, kawasan Maros sendiri memang sudah rentan karena kegiatan industri semen.

Dalam obrolan bersama Kompas.com, Pindi Setiawan, pakar gambar cadas dari Institut Teknologi Bandung (ITB), menekankan pentingnya manajemen yang baik dalam pengelolaan kawasan karst sebagai obyek wisata. Berikut petikan obrolan Kompas.com bersama Pindi pada Selasa (14/10/2014) lalu.

Mengapa kita perlu repot-repot meneliti gambar cadas?
 
Ini kan konteksnya peninggalan sejarah. Kita harus teliti agar tahu ceritanya. Dalam konteks yang lebih jauh, kita bisa memahami perjalanan sejarah kita dan jati diri kita. Lebih jauh lagi, kita bisa belajar dari keputusan-keputusan manusia masa lalu dalam menghadapi tantangannya.
 
Adakah manfaat ekonominya?

Kalau bisa dikelola, gambar cadas juga akan punya manfaat ekonomi yang baik. Syaratnya, karst-nya harus utuh. Minimal goanya harus utuh. Ini yang menjadi tantangan sekarang.
 
Di Maros, banyak perilaku yang berubah dalam 20 tahun terakhir. Perubahan perilaku dan tata ruang akan memengaruhi kualitas gambar. Nah, di sini kita kembali ke pertanyaan, apakah kita mau membangun atau menghancurkan.
 
Pandangan Anda sendiri?

Menurut saya, ini anugerah, jadi harus bisa dijaga sehingga bisa dimanfaatkan. Bagaimana tidak anugerah. Yang di Maros, umurnya 40.000 tahun. Itu kan anugerah yang luar biasa. Tapi, ya untuk memanfaatkan kita harus jaga tata ruangnya.

AFP PHOTO / NATURE / KINEZ RIZA Foto yang dirilis jurnal Nature, 8 Oktober 2014, menunjukkan gambar tangan ditemukan di dinding gua di Karst Maros karst, Sulawesi Selatan. Lukisan berusia 40.000 tahun, menunjukkan bahwa Eropa tidak lagi dinobatkan sebagai tempat kelahiran seni lama ini.

Ada beberapa pihak yang menilai gambar cadas di Maros berpotensi jadi obyek wisata. Bagaimana kita harus memanfaatkannya karena kadang justru merusak?

 
Memang perlu diatur ya. Kayak Ha Long Bay itu sekarang mulai stop orang. Borobudur mulai menahan jumlah orang yang naik ke atas. Memang harus ada pengaturan sebab alam punya daya dukung yang terbatas.
 
Kalau manusia masuk ke goa, mereka bawa bakteri dan sebagainya, ini bisa merusak. Maka malah bahkan ada goa-goa yang dalam setahun hanya boleh ada 10 orang yang memasukinya untuk wisata.
 
Kalau di Maros, kita lihat minatnya. Kalau memang minatnya besar, kita bisa buat replika saja. Kita buat semirip mungkin, 1:1. Kalau misal nanti di Maros minatnya tidak besar ya kita tinggal atur flow-nya.

Kalau kita mau serius kembangkan ya harus serius pengelolaannya sekalian. Situs gambar cadas itu akan laku kalau manajemennya serius.
 
Mana yang bisa dijadikan contoh?
 
Paling dekat kalau kita mau belajar ya Australia. Eropa juga bagus. Di Perancis untuk masuk replika goa saja antri. Kebayang kalau antri masuk goa aslinya. Habis.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Goa yang digunakan manusia purba untuk bertahan hidup yang di dalamnya terdapat sisa makanan berupa kulit kerang dan sampah dapur di Leang Bulu Sipong, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Seberapa rentan sebenarnya goa dan gambar cadas di Maros?

Maros itu memang rentan. Banyak goa itu bersentuhan langsung dengan kehidupan modern. Leang Buru itu di pinggir jalan. Gambar di dalamnya bisa hilang. Bukan karena dihilangkan, tetapi karena perubahan lingkungan.

Maros bersinggungan langsung dengan kehidupan sekarang. Seperti juga di Bone. Kalau di Papua, Maluku, dan kalimantan memang relatif jauh dari kehidupan saat ini.
 
Kalau Kalimantan terjaga karena kebetulan jauh. Terlalu jauh malah. Tapi, ya kalau hutannya rusak, itu ikut rusak. Karena alam yang memungkinkan gambar itu bertahan ribuan tahun. Kalau alam berubah, ya gambarnya bisa hilang.
 
Kalau di Kalimantan, setelah kebakaran hutan itu gambarnya tidak secerah dulu. Kebakaran tahun 1998. Tetapi, memang gambarnya masih ada. Tidak ada banyak perubahan yang berarti kalau di sana.
 
Kalau di Maros, 20 tahun terakhir ini beda sekali. Beda itu menurut saya karena dia di muara, menghadap lingkungan terbuka, lingkungan ini yang berubah. Akhirnya, banyak gambar yang dulu ada sekarang hilang.
 
Anda pernah meneliti yang hilang itu?

Saya pernah survei kecil-kecilan, tanya pada warga sekitar yang sekarang umurnya 30-an
tahun. Apakah mereka tahu ada gambar yang dulu ada, tetapi sekarang hilang. Mereka bisa
tunjukkan bahwa banyak gambar hilang memang.
 
Selain bicara tentang potensi wisata karst dan gambar cadas serta penglolaannya, Pindi juga menerangkan tentang kekayaan dan persebaran gambar cadas di Indonesia yang tak ada duanya di Asia Tenggara. Pindi juga bicara bagaimana gambar cadas menginspirasi seni modern.
 
Usia gambar tangan di Maros terungkap lewat hasil kerja sama riset antara Pusat Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Makassar, Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, Universitas Wollongong, serta Universitas Griffith di Australia sepanjang tahun 2011-2013.

Sejumlah arkeolog yang terlibat antara lain Max Aubert dari Universitas Griffth, Adam Brumm dari Universitas Wollongong, T. Sutikna dan EW Saptomo dari Pusat Arkeologi Nasional, Budianto Hakim dari balai Arkeologi Makassar, dan Muhammad Ramli dari BPCB Makassar.

Dalam perbincangan, Pindi menyatakan bahwa temuan gambar tangan tak berarti bahwa Indonesia menjadi pusat peradaban dunia pada masa lampau.

Simak perbincangan lain Kompas.com dengan Pindi.

Mimpi Atlantis di Indonesia

Bhinneka di Dinding Goa

Inspirasi Desain dari Nenek Moyang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau