Sepucuk Surat dari Riau untuk SBY

Kompas.com - 14/03/2014, 23:18 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Jumat pagi, seorang kawan mengirimkan broadcast di jaringan BlackBerry Messenger. Teman itu mengatakan bahwa ia mendapat kiriman BBM dari temannya yang berada di Riau. Begini bunyinya:

"Dear Yth. Presiden RI Bpk Susilo Bambang Yudhoyono yang sebentar lagi akan habis masa jabatannya. Riau, dari sini Bahasa Indonesia berasal, bahasa yg pernah membuat Nusantara satu. Titik api di sekitar kami, bukanlah simbol kemarahan Tuhan, tapi simbol keserakahan dan bukti ketidakpedulian Negara, bukti kepongahan Jakarta trhdp Daerah.

Bapak mau ke sini sekarang? Bandara ditutup Pak. Lagi pun tidak ada anak sekolah yang akan menyambut Bapak. Sekolah diliburkan. Mau menempuh jalur darat? Bahaya Pak, asap tebal tidak bagus buat kesehatan Bapak dan Ibu Ani. Lagian juga tdk bagus untuk objek foto Instagram.

Biarkan saja seperti ini, agar Riau bisa menjadi lahan sawit dan bisa ditanami tanaman industri. Biarkan saja seperti ini, kami ikhlas mati pelan-pelan karena ISPA karena ketidakberdayaan kami di Daerah. Kami Pasrah, Mungkin ini kehendak Tuhan. Bagi saudara/i kami di daerah lainnya, kami sgt berterima kasih atas doa yg selalu kalian panjatkan, mhn maaf krena kiriman asap Riau kalian jadi terganggu, jika kita tdk sempat bertemu muka, semoga kita bertemu di Surga nanti. Sebarkan ini,semampu yg anda bisa.. Karena Kita INDONESIA.@Semangat Juang Riau # SJR."

Ada kepedihan pada surat itu, juga keputusasaan, serta ironi. Pedih lantaran asap yang melingkupi Riau lebih sebulan ini tak cuma bikin mata perih, tapi juga membuat napas menjadi sesak. Putus asa lantaran negara seperti lepas tangan dengan tragedi di Riau sehingga pengirim surat itu mengatakan, "Biarkan saja seperti ini, kami ikhlas mati pelan-pelan karena ISPA." Ironi, sebab di balik bencana asap itu, sekelompok orang justru sedang menyiapkan diri menjadi juragan kelapa sawit dan tanaman industri lainnya.

Surat tersebut seperti melengkapi berita pagi ini di harian Kompas yang memberi judul "Pekanbaru 'Menghilang'". Kompas menuliskan, kabut asap di Provinsi Riau, Kamis (13/3/2014), mencapai kondisi yang terburuk. Ketebalan kabut asap demikian luar biasa sehingga semua bangunan di Pekanbaru tidak kelihatan lagi dari jarak 100 meter. Pekanbaru seperti menghilang dari penglihatan normal.

”Inilah kabut asap paling parah yang pernah ada di Riau. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mengambil alih pengendalian kebakaran. Satgas Penanggulangan Bencana Asap Riau dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana tidak mampu lagi,” kata Ketua Lembaga Adat Melayu Riau Al Azhar, Kamis, di Pekanbaru.

Pekatnya kabut asap di Riau juga berdampak ke tiga provinsi di sekitarnya, yakni Sumatera Selatan, Jambi, dan Sumatera Barat. Tiga provinsi itu, Kamis, menetapkan siaga kabut asap.

Seperti disinggung oleh pengirim surat, "Bapak mau ke sini sekarang? Bandara ditutup Pak...", sudah beberapa pekan ini penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Pekanbaru, Padang, Jambi, dan Palembang sebagian dibatalkan.

Pernah sekali saya ke Riau. Selain mengunjungi situs Candi Muara Takus, merasakan kulinernya yang lezat, saya juga berkesempatan menyusuri Sungai Siak serta memasuki areal kilang minyak Caltex. Sepanjang perjalanan, saya mendapat banyak cerita tentang Riau dari seorang kawan aktivis lingkungan yang seperjalanan dengan saya.

Riau di mata kawan seperjalanan saya kala itu memang sebuah ironi itu sendiri. Bayangkanlah, masyarakat yang hidup di atas ladang minyak yang melimpah justru tak merasakan kemakmuran yang dihasilkan dari hasil tambang itu. Ibarat ayam yang kurus di lumbung padi, masyarakat Riau juga tak merasakan berkah minyak yang ada di bawah bumi yang mereka pijak. Para pemuka Riau mengatakan saat itu, "Jakarta"-lah yang menjadi penyebab ironi tersebut. Pemerintah pusat dituduh telah "merampok" komisi dari Caltex dan menyisakan sedikit persentase buat Riau.

Lantas kawan perjalanan itu pun bercerita, betapa melimpahnya kekayaan pejabat di Pekanbaru. "Di rumah dinasnya mirip showroom mobil," ujar kawan seperjalanan saya melukiskan si pejabat di kota itu.

"Ibarat kata, mereka yang datang ke Riau pakai celana pendek, pulang-pulang udah pakai jas," imbuh kawan saya menggambarkan kesuksesan para pendatang yang masuk ke Riau, baik sebagai pejabat maupun sebagai pengusaha.

Kelapa sawit adalah salah satu peluang bisnis yang sangat menjanjikan. Oleh karena kelapa sawit butuh lahan yang luas, dibukalah hutan-hutan itu dengan beragam cara. Salah satunya, yang paling praktis, adalah dengan membakarnya. Konon, selain praktis, abu bakaran hutan itu bisa menjadi pupuk bagi tumbuh kembangnya kelapa sawit.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau