Jejak Teknologi Hidrolik Sultan Ageng Tirtayasa

Kompas.com - 24/05/2013, 18:01 WIB

KOMPAS.com - Batu bata-batu bata itu sudah renta, melapuk, berlumut, dan ditumbuhi tanaman liar. Terinjak atau tertekan sedikit saja langsung remuk. Bukan hanya itu, sebagian batu bata tersebut mencuat dan remuk akibat lilitan dan cengkeraman akar pohon beringin besar yang kokoh.

etiap banjir melanda, seperti pertengahan Januari 2013, bata-bata lapuk itu tergerus air. Apalagi jika menjadi tumpuan kaki-kaki para pemancing dan warga setempat, bata-bata pembentuk saluran irigasi pintu air tak berpagar tersebut tentunya akan semakin mendekati titik kehancurannya.

Begitulah potret salah satu bangunan teknologi keairan (hidrolik) Sultan Banten VI Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) di situs Tirtayasa, Desa Bendung, Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang, Banten. Kondisi serupa juga terjadi pada bangunanbangunan lain peninggalan Tirtayasa, ”Sang Pembangun Pengairan”.

Menelusuri jejak-jejak teknologi hidrolik Sultan Ageng Tirtayasa menimbulkan kekaguman sekaligus keprihatinan. Kagum lantaran pada zaman dahulu pertanian sudah didukung dengan teknologi pengairan yang tertata dan terkelola baik.

Prihatin karena peninggalan salah satu titik pijak teknologi pengairan di bidang pertanian itu tidak terabadikan dengan baik. Padahal, bangunan bernilai sejarah tinggi itu dapat menjadi materi studi arsitektur, teknologi, dan tata kelola air, khususnya di kawasan rawa pantai.

Mengatasi rawa

Sultan Ageng merupakan putra Sultan Abdul Ma’ali Ahmad (Sultan Banten periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma. Dia diangkat sebagai sultan pada 1651 dan bergelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Untuk menghindari persekongkolan dengan perserikatan perusahaan Hindia Timur (VOC) di lingkup Kesultanan Banten (sekarang Banten Lama), Sultan Ageng membangun keraton baru di Dusun Tirtayasa yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Banten. Di kawasan rawa pantai itulah Sultan Ageng mendapat julukan Sultan Ageng Tirtayasa karena membangun teknologi hidrolik untuk mengembangkan ekonomi berbasis pertanian dan perkebunan.

Merie Calvin (MC) Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008) menyebutkan, Sultan Ageng sangat menaruh perhatian pada pengembangan sumber daya pertanian negaranya. Pada 1663-1677, dia membangun sistem irigasi besar-besaran di Banten.

Kanal-kanal baru sepanjang 30-40 km dibangun dengan mempekerjakan 16.000 orang. Sepanjang kanal-kanal itu dibuka 30.000-40.000 hektar persawahan baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa. Sekitar 30.000 petani ditempatkan di lahan-lahan ini.

Sultan Ageng membangun sistem irigasi itu di daerah lembah Sungai Ciujung dan Durian serta lembah Sungai Cimanceuri (sekarang daerah Kronjo). Hal itu dapat dilihat dari jejak-jejak peninggalan bangunan-bangunan sistem irigasi tersebut.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional mencatat, peninggalan arkeologi yang berkaitan dengan irigasi di lembah Cimanceuri berujung di daerah Balaraja. Peninggalan itu berupa tiga pintu air yang salurannya bersumber dari Sungai Cimanceuri dan Rawa Rancailat. Salah satu pintu air strukturnya berada di tengah sungai yang diduga merupakan kanal yang sengaja dibuat untuk mengalirkan air dari rawa Rancailat.

Adapun peninggalan yang berada di antara Sungai Cidurian dan Ciujung berupa pintu air. Pintu air itu menjadi penanda adanya sodetan yang mengalirkan air dari Sungai Cidurian ke Ciujung dengan dua kanal buatan.

Kanal pertama dikenal sebagai kanal sultan yang panjangnya 9 km. Sampai sekarang kanal buatan sultan ini masih dapat dilihat dan dimanfaatkan untuk pengairan. Selain itu, ditemukan pula dua pintu air, saluran kontrol bawah tanah, dan pintu air berbentuk jembatan di sepanjang kanal tersebut.

Kanal kedua disebut saluran Jongjing yang panjangnya 9 km menuju ke arah Kampung Sujung. Di sepanjang kanal itu terdapat lima bendungan yang dilengkapi dengan dua pintu air. Namun, hanya tiga bangunan yang masih dapat dilihat hingga sekarang, yaitu di Kampung Endol, Cerucuk, dan Sujung. Di kanal itu terdapat pula jejak-jejak tandon dan tangga-tangga air dengan memanipulasi elevasi air.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau