Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dewi dan Tonton, Sejahtera bersama Sampah

Kompas.com - 11/04/2013, 15:26 WIB

Oleh CORNELIUS HELMY

KOMPAS.com - Suatu hari delapan tahun lalu, corat-coret sisa rapat tentang pemilahan sampah di papan tulis di lembaga swadaya masyarakat Studi Mitra Lingkungan membuat Dewi Kusmianti (38) penasaran. Sebelum dihapus, ia membacanya sampai tuntas. Beberapa inti tulisan dicatatnya.

Pikiran Dewi lantas melayang pada keluhan suaminya, Tonton Paryono (40). Pengangkut sampah di RW 011 Kelurahan Cibangkong, Kecamatan Batu Nunggal, Kota Bandung, itu kewalahan mengelola timbunan sampah seorang diri.

”Sampah plastik dipilah dan dibuat kerajinan tangan. Selain meringankan beban suami, juga bisa memberi keuntungan ekonomi,” pikir Dewi yang kala itu bekerja sebagai petugas kebersihan di Studi Mitra Lingkungan.

Setelah dibicarakan dengan suaminya, konsep itu mulai mereka kerjakan pada April 2005. Saat itu, di tempat pembuangan sampah (TPS), timbunan sampah mencapai 4 meter. Sampah berasal dari sekitar 9.000 warga RW 011 yang tak pernah diangkut sejak tahun 1996.

Selain memilah plastik di TPS RW 011, mereka juga membeli langsung dari warga. Modal untuk itu disisihkan dari penghasilan keduanya sekitar Rp 600.000 per bulan. Sampah anorganik dibeli Rp 400 per kilogram dan sampah plastik bermotif Rp 50-Rp 1.000 per lembar. Pembayaran dilakukan saat tagihan mencapai Rp 50.000 per orang.

Cara itu membuahkan hasil manis. Kemampuannya menganyam dari bahan bungkus plastik bekas memberikan penghasilan tambahan. Dalam sebulan Dewi bisa menjual 30 dompet atau tas kecil Rp 5.000-Rp 10.000 per buah. Kerja suaminya sebagai pengangkut sampah juga lebih ringan karena volume sampah berkurang hingga 40 persen setiap hari.

Peluang ekonomi itu dilirik oleh 12 ibu tetangganya di RW 011. Tahun 2009, mereka lantas bergabung dan menamakan diri Masyarakat Sadar Lingkungan (My Darling) untuk memudahkan pembelian sampah dan pemasaran hasil kerajinan.

”Kelompok My Darling terus berkembang. Saat pertama berdiri, keuntungannya hanya Rp 800.000 per 12 orang per tahun. Sekarang setiap anggota bisa untung Rp 500.000 per tahun,” ujar Dewi.

Tak lama kemudian My Darling mendaftar menjadi peserta program Bandung Clean and Green yang digagas Pemerintah Kota Bandung pada 2010. Awalnya hanya ingin memperkenalkan diri, tak disangka konsep My Darling dinobatkan menjadi 15 peserta terbaik.

Sukses itu membuat Yayasan Sumbangsih Nuansa Indonesia kepincut. Dana bantuan Rp 15 juta digelontorkan untuk memilah sampah. Namun, karena minim pengalaman, uang itu hanya digunakan untuk mengangkut sampah dari TPS.

Oleh karena tak ada mobil khusus pengangkut sampah, Dewi dan Tonton harus mengeluarkan Rp 450.000 sekali angkut. Sampah masih menggunung, sedangkan uang bantuan ludes dalam enam bulan.

”Saya banyak belajar. Banyak uang tanpa program yang benar tidak akan menghasilkan apa-apa,” katanya.

Kesempatan kedua datang. Beragam tawaran bantuan mengalir kembali untuk mereka. Tak ingin mengulang kesalahan, anggota My Darling kali ini menolak uang tunai. Mereka meminta bantuan ilmu teknologi dan alat pendukungnya.

”Sikap itu mendapat apresiasi pemerintah dan kalangan swasta. Kami diberi ilmu pembuatan kompos, energi sampah, hingga mengurangi residu sampah bersama alat pendukung. Total mungkin Rp 100 juta. Tumpukan sampah setinggi 3 meter itu diangkut gratis,” kata Dewi yang juga menjadi tukang ojek.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com