Oleh NASRULLAH NARA
KOMPAS.com - Ijazah hanya sampai SMP, tapi gelar ”profesor” melekat pada namanya. Berkat kepiawaiannya merancang perangkap tikus, tanaman padi di Pinrang, Sulawesi Selatan, bisa terbebas dari hama pengerat itu. Bangkai tikus ia fermentasi menjadi pupuk organik. Karya ini mengantarnya meraih predikat Petani Teladan Tingkat Nasional.
Itulah Anas Tika (40), petani yang merangkap penyuluh swakarsa di Kecamatan Cempa, Pinrang, sekitar 250 kilometer utara Makassar, Sulsel. Bertahun-tahun tanaman padinya dimangsa tikus, lalu terbetik ide membuat perangkap tikus.
Percobaan itu mulai dirintis tahun 1992. Kala itu, ia galau setiap kali gerombolan tikus menyerbu tanaman padinya. Sekali serbu, bulir-bulir padi yang mulai berisi musnah. Tak hanya kerugian materi untuk benih dan pupuk, tetapi juga tenaga.
Diam-diam ia mengamati perilaku tikus yang suka bersarang di pematang sawah. Ia juga menemukan pola penyerbuan kawanan tikus pada malam hari, dengan lebih dulu menyusuri pematang sawah.
Anas membangun tembok di sekeliling sisi luar pematang sawahnya. Tembok berupa cor semen dan pasir itu menyerupai benteng setinggi 70 sentimeter (cm) dengan ketebalan 10-15 cm. Bagian luar tembok dipoles semen sampai mulus. Dengan permukaan tembok yang halus dan licin, tikus kesulitan memanjat dan menjangkau tanaman padi.
Pada bagian bawah tembok, 10 cm dari permukaan tanah, dibuat lubang berdiameter 5-7 cm (kira-kira seukuran lingkar badan tikus dewasa). Lubang itu tembus dari bagian luar tembok hingga dalam. Ibaratnya, Anas mencoba berbaik hati pada tikus dengan menyediakan lubang masuk ke sawah. Untuk tembok yang mengelilingi lahan 1 hektar, jumlah lubang yang dibuat 70-80 buah.
Pada bagian dalam tembok, khususnya di mulut lubang bagian dalam, dipasang kotak perangkap berbahan kawat ram. Kotak ini menyerupai perangkap tikus yang lazim dijual di pasar atau toko bahan bangunan.
Mulut kotak perangkap dilekatkan menganga persis pada lubang. Lalu, pada bagian mulut lubang dibuatkan semacam bubu, mirip alat tangkap ikan tradisional. Ukuran bubu dibuat sedemikian rupa agar tikus yang telanjur masuk perangkap sulit lolos keluar tembok.
Dalam semalam, satu lubang bisa menjerat 5-7 tikus. Bayangkan, berapa ratus tikus yang masuk pada 70-80 kotak perangkap yang ia tebar keliling sawah.
”Pada malam hari riuh sekali suara cicit-cicit tikus yang terperangkap,” tutur Anas.
Simbiosis dengan kucing
Kalaupun ada tikus yang sempat lolos atau mencoba meloncati pagar tembok dari luar pematang sawah, Anas tak merasa risau. Belasan kucing peliharaannya siap menerkam tikus yang lolos dari jeratan.
Kucing-kucing Anas dibiasakan ke sawah pada malam hari. Di rumah, kucing-kucing itu sengaja tak diberi makan kenyang. Dengan begitu, naluri kucing menangkap tikus tumbuh dan terasah.
Anas paham betapa naluri tikus untuk melahap begitu tinggi begitu mencium bau bulir-bulir padi di tanah. Untuk itu, pada salah satu sudut lahan yang dikelilingi tembok, ia siapkan petak persemaian padi. Pada saat tanaman padi yang utama mulai berbuah, ia juga menebar benih di petak persemaian itu. Benih yang disemai memancing tikus berdatangan.
Tikus yang masuk perangkap dibenamkan ke air saluran tersier hingga mati. Setelah itu, bangkainya ditumpuk dalam sebuah sumur fermentasi. Dalam 2-3 pekan, cairan dari bangkai ditampung untuk dijadikan pupuk di persemaian padi.