Jejak Kehidupan Purba di Cekungan Soa

Kompas.com - 18/07/2012, 17:22 WIB

KOMPAS.com - Sembilan matahari seolah bersinar di atas kepala. Teriknya memanggang Cekungan Soa. Meski musim kering belum mencapai puncak pada Maret, savana telah menguning. Pepohonan hanya merimbun di kanan-kiri Sungai Ae Sisa yang mengalir deras di dasar lembah.

Dari kejauhan, Gunung Ambulombo tinggi menjulang. Dalam naungan langit biru tanpa awan, 150 warga Kecamatan Soa mandi keringat mengorek lapisan tanah bagian atas di lereng-lereng dan dasar lembah dengan cangkul dan sekop. Para arkeolog dan paleontolog memimpin penggalian dengan kuas dan pahat mini. Mereka berpencar di beberapa situs penggalian yang tersebar di Cekungan Soa.

”Tuk, tuk, tuk, tuk…!” Bunyi ketukan palu pada pahat besi meramaikan lembah di kaki tebing curam yang mirip tembok raksasa. Warga setempat menyebut tebing itu sebagai Tangi Talo, artinya tangga yang mustahil didaki.

Setelah berhari-hari terbakar terik matahari, siang itu, dari lubang galian sekitar 1 meter, tulang-belulang menyembul dari kedalaman Bumi. Warna putihnya sudah memudar menjadi coklat kekuningan dan sebagian retak di sana-sini. Tapi, bentuknya masih dikenali.

Gading Stegodon sondaari berukuran sekitar 1,6 sentimeter ditemukan di bagian tengah galian. Di bagian atas terdapat tulang rahang. Sementara tengkorak, tulang belakang, dan rusuknya terserak di bagian bawah.

Tulang-belulang gajah purba itu tercampur dengan tulang pemangsanya, komodo dan buaya. Semua tulang sudah lepas dari sambungan, tidak utuh, mengabarkan pernah terjadinya banjir lumpur pada masa lalu, yang menggulung dan menghanyutkan binatang-binatang ini dari lereng tebing Tangi Talo ke dasar lembah.

Total ada 10 binatang di lubang galian ini, yaitu gajah, komodo, buaya, dan kura-kura. ”Lokasi ini merupakan habitat kehidupan purba yang cukup subur dan ramai,” kata Gerrit Dirk van den Bergh, peneliti paleontologi dari School of Earth and Environmental Sciences, University of Wollongong, Australia. Lelaki ini meneliti fosil binatang di Soa sejak tahun 1993.

”Pada tahun-tahun sebelumnya, kami juga menemukan banyak fosil binatang purba, termasuk tempurung kura-kura raksasa,” kata Erick Setiyabudi, paleontolog dari Pusat Survei Geologi Bandung (PSG). ”Dari ukuran cangkangnya, kura-kura raksasa yang ditemukan di Soa tak kalah dengan yang sekarang masih hidup di Kepulauan Galapagos.”

Kekayaan temuan fosil ini menguatkan cerita ramainya kehidupan di Cekungan Soa saat itu. Kehidupan yang kemudian terenggut tiba-tiba.

"Semua fosil yang ditemukan terlapisi material gunung api,” kata Ruly Setiawan, geolog dari PSG. Kandidat doktor dari Wollongong University ini memfokuskan penelitiannya untuk melacak gunung api yang menghabisi kehidupan di Cekungan Soa. ”Umur lapisan di Cekungan Soa berada dalam rentang 650.000 tahun hingga 1,02 juta tahun lalu. Dalam rentang itulah, gunung api silih berganti meletus dan menciptakan suksesi kehidupan.”

Secara stratigrafi, Cekungan Soa dibagi menjadi dua formasi penting, yaitu Ola Kile sebagai bantalan di lapisan paling bawah serta formasi Ola Bula dan formasi Gero di atasnya. Umur formasi Ola Kile berdasarkan penarikan umur menggunakan metode jejak belah (fission track) batuan adalah 1,86 juta tahun dan umur formasi Ola Bula 880.000 tahun. Adapun formasi Gero sekitar 650.000 tahun.

Fachroel Aziz memastikan bahwa formasi Ola Kile merupakan produk gunung api berupa batuan breksi yang keras. ”Cekungan Soa tadinya berupa cekungan besar, yang kemudian tertutup batuan breksi dari letusan gunung. Batuan breksi susah ditembus air sehingga terbentuklah danau, barulah timbul kehidupan di sekitar danau,” katanya.

Dengan melihat halusnya ukuran batuan gunung api yang melapisi Cekungan Soa, Ruly menduga, sumber letusan itu cukup jauh. Dia memetakan, sedikitnya tiga gunung api yang diperkirakan menjadi penyebab petaka itu. Pertama, gunung api di sisi utara cekungan, yaitu Kaldera Welas, kedua adalah Gunung Kalelambu di sisi timur cekungan, dan ketiga, Gunung Kero di sebelah tenggara Soa.

”Kami masih menunggu hasil penelitian di laboratorium untuk mengetahui kapan ketiga gunung api itu meletus pada masa lalu. Penanggalan usia batuan menggunakan argon-argon memperlihatkan, lapisan vulkanik yang melapisi Soa ini berumur sekitar satu juta tahun,” kata Ruly. ”Jika kita ketemu gunung api yang meletus hebat satu juta tahun lalu, kita bisa tahu sumber bencana di Soa.”

Setelah kehancuran akibat letusan gunung api itu, menurut Ruly, kehidupan yang punah kemudian tergantikan oleh spesies baru. Rerumputan kembali tumbuh subur di cekungan itu. Sungai-sungai kembali mengalirkan air bersih, mengundang kehidupan untuk kembali datang dan bersemi kembali.

Halaman:
Baca tentang


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Terpopuler

    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau