Ketika laut surut sesaat setelah gempa pada Minggu pagi akhir 2004, orang Aceh ramai mencari ikan di pantai. Sebagian lagi menonton tanpa sadar bahwa tsunami mengancam jiwa mereka.
”Sebelum 2004 tidak ada pembelajaran mengenai gempa dan tsunami,” kata Hermansyah, filolog muda dari Fakultas Adab, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Banda Aceh. Ketiadaan pengetahuan tentang gempa dan tsunami membuat warga tak bersiaga.
”Padahal, Aceh sebenarnya menyimpan banyak naskah tua yang mengabarkan kejadian gempa dan tsunami pada masa lalu,” kata Oman Fathurahman, Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Sayangnya, naskah ini hanya disimpan, tidak diajarkan.
Pada 2006, Oman menemukan catatan tangan di sampul sebuah manuskrip asal abad ke-19 di Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar. Catatan dalam bahasa Arab itu menyebutkan, pernah terjadi gempa besar untuk kedua kali pada pagi hari Kamis, 9 Jumadil Akhir 1248 Hijriah atau sekitar 3 November 1832.
Angka tahun 1248 Hijriah atau 1832 Masehi ini menjadi sangat menarik karena berdasarkan sejumlah catatan penjelajah Barat, gempa dan tsunami pernah melanda pantai barat Sumatera pada 24 November 1883.
Sebelumnya, pada 2005,
Kolega Oman di Aceh, Hermansyah, juga menemukan Naskah Gempa dan Gerhana Wa-Shahibul dalam kitab Ibrahim Lambunot, koleksi Museum Negeri Aceh. Naskah itu menyebutkan tentang smong yang terjadi pada 1324 H atau 1906 M.
Smong