Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anomali Cuaca, Kerakusan Manusia

Kompas.com - 29/09/2010, 17:06 WIB

Oleh J Sumardianta

Badai menerjang sebagian besar wilayah DI Yogyakarta, Sabtu (25/9). Pohon besar dan baliho roboh. Hamparan padi siap panen membelasah ambruk diamuk angin kencang. Ratusan hektar sawah harus dikuras dengan pompa air di Sentolo, Kulon Progo, akibat curah hujan kelewat tinggi. Tanaman tembakau di Prambanan lanas (mati perlahan) diterjang angin dan hujan. Palawija seperti jagung, kacang tanah, dan kedelai gagal panen. Nasib budi daya bawang merah, melon, dan cabai di pesisir Bantul dan Kulon Progo sama saja.

Anomali cuaca menyebabkan suhu udara ekstrem. Hujan pun menggila di musim kemarau. Puting beliung ikut menambah nestapa masyarakat. Badai dan bah merupakan mimpi buruk traumatik langganan bangsa Indonesia.

Indonesia memang negeri yang tak putus dirundung gebalau alam berupa kekeringan, gempa bumi, tsunami, dan puting beliung. Predikat Indonesia telah bergeser, dari negeri kaya sumber daya alam menjadi negeri berlumuran bencana alam. Ketidakberdayaan mengantisipasi dan menangani anomali cuaca membuat bangsa Indonesia setiap tahun harus menjalani ritus paradok air.

Cermin anak benua

Aduhai. Mari becermin dari pengalaman anak benua. Ketangguhan bangsa India bertahan dalam kesulitan akibat bencana dilaporkan Dominique Lapierre dalam The City of Joy (1992). India, setali tiga uang Indonesia, merupakan negeri langganan banjir, angin ribut, dan bencana kekeringan.

Asish Gosh, warga Desa Harbangha, sebagaimana dikisahkan Dominique Lapierre, bersama istri dan ketiga anaknya terjaga di sepanjang malam jahanam. Mereka bertahan dari serangan angin dan curah hujan lebat dalam gubuk lempung. Keluarga Gosh menyelamatkan diri meninggalkan rumah, kolam besar penuh gurameh, dan tiga sapi melenguh di kandang. Asish menoleh ke belakang seraya menghibur diri bahwa puting beliung bakal mengasihani harta miliknya. Sambil memegang erat tangan istri yang menangis tersedu, Asish mendapati hasil jerih payahnya diporakporandakan badai.

Kemarahan langit menyebabkan rumah dan pepohonan lumat. Perahu, kereta api, dan bus terangkat dan diempaskan kembali bagaikan tumpukan jerami. Tanggul sungai runtuh. Bendungan jebol. Ribuan orang hanyut terseret arus. Daratan terendam magma campuran air asin, lumpur, sampah, dan bangkai binatang maupun manusia. Terperangkap hujan badai menggila, sehari semalam keluarga Asish Gosh dan pengungsi lain diselamatkan sebuah mushala di atas bukit.

Asish sempat menyaksikan satu keluarga terdiri enam orang berusaha keras memegangi batang pohon. Sebuah pusaran arus menelan batang ringkih itu bersama seluruh muatannya. Teror berlangsung terus-menerus sebelum pusaran angin berpindah ke arah laut. Dua hari berjalan kaki, keluarga Asish sampai di Canning, kota kecil sekitar 40 kilometer di pedalaman Teluk Bengali. Mereka berjuang dalam capek dan lapar mengarungi lembah penuh bercak kehancuran dan terantuk tubuh-tubuh tak bernyawa.

Pemerintah, yang khawatir mendapat kecaman karena dianggap teledor atau tidak tanggap, sengaja membiarkan ketidakjelasan. Pengungsi terancam mati kelaparan, kehausan, dan kedinginan. Paradoksnya, sementara air bah melimpah di mana-mana, tidak setetes pun air bersih tersedia buat diminum. Masalah pertolongan dan bantuan untuk korban selalu menimbulkan sengkarut perselisihan. Penguasa di Kalkuta dan New Delhi saling melempar tanggung jawab. Diperlukan waktu tiga hari untuk bersepakat tentang operasi penyelamatan awal.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau