Oleh J Sumardianta
Badai menerjang sebagian besar wilayah DI Yogyakarta, Sabtu (25/9). Pohon besar dan baliho roboh. Hamparan padi siap panen membelasah ambruk diamuk angin kencang. Ratusan hektar sawah harus dikuras dengan pompa air di Sentolo, Kulon Progo, akibat curah hujan kelewat tinggi. Tanaman tembakau di Prambanan lanas (mati perlahan) diterjang angin dan hujan. Palawija seperti jagung, kacang tanah, dan kedelai gagal panen. Nasib budi daya bawang merah, melon, dan cabai di pesisir Bantul dan Kulon Progo sama saja.
Anomali cuaca menyebabkan suhu udara ekstrem. Hujan pun menggila di musim kemarau. Puting beliung ikut menambah nestapa masyarakat. Badai dan bah merupakan mimpi buruk traumatik langganan bangsa Indonesia.
Indonesia memang negeri yang tak putus dirundung gebalau alam berupa kekeringan, gempa bumi, tsunami, dan puting beliung. Predikat Indonesia telah bergeser, dari negeri kaya sumber daya alam menjadi negeri berlumuran bencana alam. Ketidakberdayaan mengantisipasi dan menangani anomali cuaca membuat bangsa Indonesia setiap tahun harus menjalani ritus paradok air.
Cermin anak benua
Aduhai. Mari becermin dari pengalaman anak benua. Ketangguhan bangsa India bertahan dalam kesulitan akibat bencana dilaporkan Dominique Lapierre dalam The City of Joy (1992). India, setali tiga uang Indonesia, merupakan negeri langganan banjir, angin ribut, dan bencana kekeringan.
Asish Gosh, warga Desa Harbangha, sebagaimana dikisahkan Dominique Lapierre, bersama istri dan ketiga anaknya terjaga di sepanjang malam jahanam. Mereka bertahan dari serangan angin dan curah hujan lebat dalam gubuk lempung. Keluarga Gosh menyelamatkan diri meninggalkan rumah, kolam besar penuh gurameh, dan tiga sapi melenguh di kandang. Asish menoleh ke belakang seraya menghibur diri bahwa puting beliung bakal mengasihani harta miliknya. Sambil memegang erat tangan istri yang menangis tersedu, Asish mendapati hasil jerih payahnya diporakporandakan badai.
Kemarahan langit menyebabkan rumah dan pepohonan lumat. Perahu, kereta api, dan bus terangkat dan diempaskan kembali bagaikan tumpukan jerami. Tanggul sungai runtuh. Bendungan jebol. Ribuan orang hanyut terseret arus. Daratan terendam magma campuran air asin, lumpur, sampah, dan bangkai binatang maupun manusia. Terperangkap hujan badai menggila, sehari semalam keluarga Asish Gosh dan pengungsi lain diselamatkan sebuah mushala di atas bukit.
Asish sempat menyaksikan satu keluarga terdiri enam orang berusaha keras memegangi batang pohon. Sebuah pusaran arus menelan batang ringkih itu bersama seluruh muatannya. Teror berlangsung terus-menerus sebelum pusaran angin berpindah ke arah laut. Dua hari berjalan kaki, keluarga Asish sampai di Canning, kota kecil sekitar 40 kilometer di pedalaman Teluk Bengali. Mereka berjuang dalam capek dan lapar mengarungi lembah penuh bercak kehancuran dan terantuk tubuh-tubuh tak bernyawa.
Pemerintah, yang khawatir mendapat kecaman karena dianggap teledor atau tidak tanggap, sengaja membiarkan ketidakjelasan. Pengungsi terancam mati kelaparan, kehausan, dan kedinginan. Paradoksnya, sementara air bah melimpah di mana-mana, tidak setetes pun air bersih tersedia buat diminum. Masalah pertolongan dan bantuan untuk korban selalu menimbulkan sengkarut perselisihan. Penguasa di Kalkuta dan New Delhi saling melempar tanggung jawab. Diperlukan waktu tiga hari untuk bersepakat tentang operasi penyelamatan awal.
Aroma kematian menyeruak di mana-mana. Kendati imbalan besar disediakan buat mengurus ribuan mayat, para penggali kubur profesional yang dikirim pemerintah hanya bertahan dua hari. Para narapidana yang dikerahkan sebagai pengganti ogah-ogahan melaksanakan tugas. Tentara pun dikirim buat mengatasi keadaan. Teluk Bengali berubah menjadi tempat kremasi raksasa.
Skenario tamak
India dan Indonesia sami mawon. Ular kobra menggigit tidak hanya sekali. Rentetan bencana datang beruntun silih berganti. Bencana banjir di Trenggalek dan Tulungagung, ambruknya kawasan perkebunan di perbukitan Ciwidey Bandung Selatan, Tawangmangu, dan Sumatera Barat merupakan kombinasi bencana alam campur aduk dengan bencana birokrasi tata laksana kawasan.
Tenggelamnya kota-kota di sepanjang DAS Bengawan Solo, Ciliwung, Citarum, dan Batanghari Riau bukan akibat kemarahan alam semata. Pemanasan global, perubahan iklim, dan perubahan cuaca ekstrem penyebab curah hujan bertemu kegelojohan manusia mengubah peruntukan lahan.
Kerakusan itu tak ubahnya skenario kiamat saudagar kayu Erisychthon (baca: Er-is-ya-thon). Erisychthon merupakan legenda keserakahan dalam mitologi Yunani. Sebuah pohon istimewa yang dicintai para dewa tumbuh di ladang milik Erisychthon. Doa-doa orang beriman dikaitkan pada ranting dan cabang pohon yang sangat banyak. Roh-roh suci menari-nari di sekitar pohon yang elok dan permai itu. Erisychthon sama sekali tidak peduli dengan keistimewaan pohon itu.
Kecenderungan Erisychthon menaksir seberapa banyak kayu yang bisa dihasilkan. Pohon itu pun ditebang dengan kapak. Ia melawan semua protes yang ditujukan padanya. Semua kehidupan ilahiah yang bersemayam di pohon itu pun sirna. Dewa mengutuk keserakahan Erisychthon. Saudagar kaya raya itu didera rasa lapar tiada berkesudahan. Seluruh harta bendanya ludes untuk membeli persediaan makanan. Ia bahkan memakan istri dan anak sebelum akhirnya memangsa tubuhnya sendiri.
Legenda Erisychthon ditempatkan pada situasi kontekstual Indonesia, menunjukkan strategi kebudayaan bercorak antagonistik. Aku mengumbar ketamakanku dengan seolah-olah menyelamatkanmu. Kampanye menanam sejuta pohon hanyalah taktik kebakaran jenggot mengejar layangan putus. Bukit dikepras. Hutan digunduli. Laut direklamasi. Inilah akar masalah mengapa bangsa Indonesia bagai menahan air bah dengan sehelai jerami.
Amboi. Ayo belajar dari Nabi Nuh buat mengatasi skenario kiamat Erisychthon. Nabi Nuh, jauh sebelum air bah datang menyapu seluruh permukaan bumi, membikin kapal raksasa. Kecuali buat menyelamatkan manusia dari terjangan banjir, kapal dirancang untuk menjaga kelestarian flora dan fauna. Segala jenis tumbuhan dimasukkan ke kapal. Sepasang-sepasang segala jenis binatang melata, mamalia, dan unggas dijadikan penumpang istimewa kapal.
Nabi Nuh teladan antisipasi kehancuran. Preseden bagus perilaku visioner menyantuni generasi mendatang. Bukan perilaku jangka pendek demi keuntungan sesaat yang menurunkan derajat manusia sebagai tikus got karena tiap tahun dipaksa berenang di atas arus deras banjir.
Pengendalian diri, esensi nubuat Nabi Nuh, merupakan salah satu prinsip transformasi menuju hidup lestari dan berkelanjutan. Mekanisme kontrol agar perilaku tamak tidak berubah menjadi monster sepanjang tahun yang memangsa bangsa Indonesia sendiri.
J SUMARDIANTA Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.