KOPENHAGEN, KOMPAS.com - Mundur nyaris 24 jam dari jadwal karena pembahasan yang alot, Konferensi Perubahan Iklim PBB 2009 akhirnya mengakui naskah keputusan "Copenhagen Accord" bukan perjanjian yang mengikat secara hukum. Hasil itu dinilai "tinggal seinci" dari kegagalan. Sejumlah pihak menilai hasil itu diambil untuk menghindari proses negosiasi bernilai triliunan rupiah itu tanpa hasil.
Wartawan Kompas Gesit Ariyanto semalam melaporkan, Sidang COP-15 sepakat mengakui naskah Persetujuan Kopenhagen (Copenhagen Accord) yang berisi 12 butir catatan. Namun, sidang tidak mengakui persetujuan itu dalam arti mengadopsi, yang dalam pengertian negosiasi nilainya jauh di atas sekadar ”mencatat hasil” (take note).
"Hasil ini memang tidak mengikat secara hukum (legally binding) seperti harapan beberapa negara. Namun, ini juga bukan berarti bencana," kata Sekretaris Eksekutif Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB Yvo de Boer saat jumpa pers terakhirnya, Sabtu (19/12) sore.
Ketika transit di Dubai semalam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada pers mengatakan, meskipun saat ini pleno perumusan Persetujuan Kopenhagen belum selesai dan masih disinkronkan dengan hasil kelompok kerja, bagi Indonesia ini melegakan. Sebab, yang ditolak dalam pleno bukan substansi, tetapi prosedur dan proses.
"Padahal, inisiatif ini diambil para pemimpin negara untuk menghindari kebuntuan dan dibawa ke jalur resmi. Memang belum memuaskan, tetapi lebih baik daripada gagal," kata Yudhoyono seperti dilaporkan wartawan Kompas Nur Hidayati.
Persetujuan Kopenhagen disusun 26 negara, termasuk AS, Inggris, China, Indonesia, Banglades, dan Lesotho, yang disusun hingga lewat tengah malam Jumat, setelah negosiasi buntu. Kepala negara atau pemerintahan ke-26 negara langsung membahas naskah butir demi butir.
"(Ini) Sebuah negosiasi yang belum pernah saya alami sebelumnya, lebih dari 120 kepala pemerintahan berkumpul. Bahkan terlibat langsung menyusun. Saya tak tahu lagi apakah ini akan berulang di lain kesempatan," kata Yvo. Tiga hari terakhir, para negosiator nyaris tak pernah istirahat karena alotnya negosiasi.
Sebelum akhirnya disetujui sebagai hasil COP-15, keberatan muncul dari beberapa negara seperti Bolivia, Sudan, dan Venezuela. Alasannya, selain persoalan prosedur dan transparansi, butir Persetujuan Kopenhagen kurang ambisius karena tidak mencantumkan target penurunan emisi dari setiap negara dan waktu pencapaiannya.
Yvo mengatakan, sekalipun kurang memuaskan, keputusan itu menjadi pijakan penting bagi upaya mencegah dampak perubahan iklim global. "Butuh kerja sangat keras untuk memastikan adanya perjanjian yang mengikat secara hukum pada tahun 2010," ujarnya. Ia tidak menjamin pertemuan COP-16 di Meksiko tahun 2010 memenuhi harapan, sesuai kesepakatan di Bali dua tahun lalu, yang mestinya dicapai di Kopenhagen.
Presiden Maladewa Mohamed Nasheed mengatakan, seburuk apa pun hasil di Kopenhagen, tetap lebih baik daripada tidak ada hasil sama sekali. Maladewa merupakan salah satu dari 42 negara kepulauan kecil yang terancam tenggelam akibat kenaikan muka air laut karena pemanasan global.