KOMPAS.com - Reproduksi di luar angkasa tidak hanya akan menjadi mimpi. Puluhan atau ratusan tahun ke depan, saat manusia sudah bisa tinggal di antariksa, itu bisa dilakukan.
Hasil penelitian yang dilakukan Teruhiko Wakayama dari Advance Biotechnology Center di Kofu, Jepang, memberi tanda terwujudnya harapan tersebut.
Wakayama dan timnya pada tahun 2013 lalu mengirimkan sperma ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) untuk melihat pengaruh radiasi pada sel kelamin itu.
Rata-rata radiasi harian di ISS 100 kali lebih kuat daripada di permukaan bumi. Radiasi itu hipotesisnya bisa menimbulkan masalah reproduksi serius bagi organisme.
Namun hasil penelitian pada sperma tikus yang berada di antariksa selama 288 hari, dari Agustus 2013 hingga Mei 2014, memberi petunjuk berbeda.
Saat sperma itu dibawa ke bumi dan dikawinkan dengan sel telur dengan metode bayi tabung, keturunan yang dihasilkan ternyata sehat.
"Studi kami menunjukkan hasil bahwa sperma bisa disimpan di ruang angkasa setidaknya selama 9 bulan," kata Wakayama seperti dikutip The Guardian, Senin (22/5/2017).
Sampel sperma yang dibawa ke ruang angkasa memang menunjukkan bukti adanya kenaikan tingkat kerusakan DNA dibandingkan dengan sperma yang disimpan di bumi. Namun, kerusakan itu ternyata bisa diperbaiki.
"Meskipun dengan sperma itu telah ada sedikit kerusakan dari radiasi ruang angkasa, semua keturunannya normal," kata Wayakama.
Rasio kelahiran dan rasio jenis kelamin dari anak tikus yang berasal dari sperma yang disimpan di ruang angkasa sebanding dengan anak tikus yang berasal dari sperma di bumi.
Selanjutnya, analisis genom keseluruhan hanya menunjukkan sedikit perbedaan. Semua anak tikus berkembang menjadi tikus dewasa yang subur.
Wakayama mengatakan, saat era kolonisasi antariksa tiba, manusia akan hidup di antariksa selama beberapa generasi.
Pada masa-masa awal, teknologi reproduksi akan menjadi jawaban untuk mempertahankan keragaman genetika, menjaga manusia tetap sintas.
"Tujuan dari proyek kami adalah untuk mengetahui apakah reproduksi mamalia memungkinkan dilakukan di luar angkasa atau tidak," kata Wayakama.
"Sayangnya, untuk membawa tikus hidup dan menjaga mereka di luar angkasa terlalu sulit. Oleh karena itu, kami memutuskan pada eksperimen sederhana, yang dapat kami lakukan bahkan dengan teknologi saat ini," imbuhnya.
Wakayama mengatakan, lama sperma bisa diawetkan tanpa kerusakan tetap harus dilihat. Namun ia yakin metode pengeringan sperma akan membaik seiring waktu.
"Hasil penelitian kami mendemonstrasikan bahwa menghasilkan keturunan manusia atau hewan peliharaan dari spermatozoa yang diawetkan merupakan kemungkinan, yang seharusnya berguna saat era ruang angkasa tiba," katanya.
Wakayama mengatakan, langkah penelitian berikutnya yang telah didanai oleh lembaga hibah internasional, adalah mengirim embrio tikus ke stasiun luar angkasa dan membudidayakannya di bawah gravitasi mikro.
Studi ini telah dipublikasikan pada prosiding US National Academy of Sciences.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.