Biaya Kesehatan Capai Rp 351 Triliun, Batubara Sebenarnya Energi Termahal

Kompas.com - 21/09/2016, 19:47 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Laporan terbaru Greenpeace Indonesia mengungkap, biaya kesehatan per tahun yang harus ditanggung akibat PLTU Batubara mencapai Rp 351 triliun. Tingginya biaya kesehatan itu membuat "batubara energi termurah" yang kerap diungkapkan pejabat menjadi sekadar mitos.

"Selama ini, yang ditung hanya biaya investasi dan operasional. Biaya kesehatannya belum dihitung," kata Hindun Mulaika, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (21/9/2016).

Untuk mendapatkan angka Rp 351 Triliun, Greenpeace melakukan riset dengan pendekatan yang sama dengan peneliti Departemen Ilmu Bumi dan Keplanetan, Universitas Harvard, Shannon N Koplitz. Pendekatan penelitian menggunakan kimia atmosfer dan penyebarannya.

Greenpeace menyusun data PLTU batubara di seluruh Indonesia serta dayanya, kemudian menggabungkan dengan data arah angin untuk mengetahui sebaran partikel beracun PM 2,5 dan wilayah yang terdampak.

Dari pemodelan tersebut, diketahui bahwa PLTU batubara yang ada kini bisa memicu kematian dini hingga 6.473 orang per tahun di Indonesia saja. Bila pembangunan PLTU batubara baru seperti yang direncanakan pemerintah berjalan, kematian dininya bisa mencapai 15.719.

Kematian dini tidak berarti jumlah orang yang akan mati per tahun, tetapi kematian di bawah usia harapan hidup orang di satu wilayah tertentu yang berpotensi terjadi akibat PLTU batubara.

Ribuan orang di Indonesia berpotensi mengalami kematian dini akibat ragam penyakit seperti stroke, jantung, paru-paru kronik, dan penyakit kardiovaskular lainnya. Penyakit tersebut berasosiasi dengan polusi PM 2,5 akibat PLTU batubara.

Arif Fiyanto, juga dari Greenpeace Indonesia, mengatakan bahwa hasil pemodelan tersebut telah dibandingkan dengan fakta di lapangan.

"Data dampak PLTu di Cilacap, tahun 2010, dari pemeriksaan pada 686 orang, yang mengeluh penyakit pernafasan 82 persen. Itu dialami terutama orang lanjut usia dan anak-anak. Tahun 2013, banyak balita yang meninggal karena flek paru, mungkin berkaitan dengan TBC," jelasnya.

Sementara, di Jepara yang PLTU-nya sudah memakai teknologi super critical, dampak PLTU juga dirasakan. Guru melaporkan bahwa murid-muridnya kerap absen karena sakit saat musim kemarau setelah adanya PLTU.

Dari angka potensi kematian dini akibat beragam penyakit itu, Greenpeace melakukan valuasi ekonomi. Terungkap, biaya kesehatan akibat penyakit-penyakit itu mencapai Rp 351 triliun per tahun.

Memasukkan biaya kesehatan, Greenpeace menghitung ulang harga listrik dari batubara. "Tanpa memasukkan biaya kesehatan, harga listrik batubara memang hanya 51,22 dollar AS per MWh (Mega Watt/Hour). Tapi kalau biaya kesehatan dimasukkan, harganya naik drastis menjadi 152,65 dollar AS per MWh," kata Hindun.

Dengan harga itu, batubara menjadi energi paling mahal, mengalahkan energi baru dan terbarukan apapun. Hrga energi biomassa misalnya, ditarkisr 112,76 dollar AS per Mwh.

Hindun mengatakan, dengan tingginya biaya kesehatan dan mahalnya energi batubara, maka pembangunan PLTU batubara harus berakhir. "Pemerintah harus menyusun rencana phase out energi batubara ke energi terbarukan," katanya.

Selain itu, pada PLTU batubara yang beroperasi kini, haru dilakukan pemantauan emisinya sehingga kerugian yang ditimbulkan bisa diprediksi.

Sejumlah negara maju mulai berinvestasi pada energi terbarukan. Amerika Serikat telah menutup 200 PLTU batubara. Sementara, India dan China menyadari bahwa batubara menurunkan kualitas udara sehingga punya target tinggi pembangunan energi terbarukan.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau