KOMPAS.com - Hasil ekspedisi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan, flora Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur tidak bisa digolongkan sebagai bagian dari Paparan Sunda atau Sahul saja, tetapi pertemuan keduanya. Meski vegetasi khas Paparan Sunda mendominasi, sejumlah flora dari Paparan Sahul masih ditemukan.
"Flora di Sumba itu semacam pertemuan barat dan timur," kata Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI Ary P Keim di Bogor, Sabtu (14/5/2016). Ekspedisi Widya Nusantara 2016 LIPI, 15 April-1 Mei, ada di Pulau Sumba dan Gunung Gandang Dewata di Sulawesi.
Ary mengatakan, penggolongan Sumba selama ini kontroversial. Mayoritas peneliti cenderung menyebut Pulau Sumba bagian Paparan Sunda karena jenis floranya, sedangkan sebagian menyebut bagian Paparan Sahul berdasarkan jenis fauna di sana. Padahal, Sumba sebenarnya pulau samudra tua dan fragmen terpisah jauh sebelum terbentuknya Paparan Sunda dan Sahul, tetapi flora di atasnya memang dapat pengaruh kedua paparan.
Pulau Sumba, lanjut Ary, sudah terpisah jadi pulau sendiri sekitar akhir zaman Cretaceous di masa Kenozoikum, sebelum pecahnya Pangaea jadi Laurasia dan Gondwana. Teorinya, Pangaea adalah kumpulan daratan dari benua yang ada saat ini dan terpecah mulai 200 juta tahun lalu. Laurasia terdiri dari Amerika Utara dan Eurasia (Eropa dan Asia), sedangkan Gondwana terdiri dari Amerika Selatan, Afrika, India, Australia, dan Antartika.
Artinya, Sumba jauh lebih tua ketimbang Paparan Sunda dan Sahul. Paparan Sunda merujuk pada perpanjangan lempeng Benua Eurasia di Asia Tenggara, antara lain daratan Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Paparan Sahul, bagian dari landas kontinen Benua Sahul (Australia-Papua), membentang dari utara Australia meliputi Laut Timor menyambung ke timur di Laut Arafura hingga Pulau Papua.
Sepanjang sejarah geologinya, kata Ary, Sumba ada di bawah laut dan muncul ke permukaan sekitar zaman Eosen atau Miosen. Saat itu, kemungkinan vegetasi dari Paparan Sahul masuk ke Sumba lebih dulu, disusul dari Paparan Sunda, terutama saat Sumba bersatu dengan Sulawesi, 40.000-50.000 tahun silam.
"Invasi vegetasi Sundaland mengalahkan vegetasi Sahulland," tutur Ary. Namun, meski pengaruh elemen-elemen dari Paparan Sunda kuat terhadap flora di Sumba, flora khas Paparan Sahul masih bertahan di bagian dataran tinggi, seperti di Wanggameti. Contohnya, satu jenis pandan dari marga Pandanus dan masuk seksi Maysops yang banyak di Paparan Sahul, tetapi tidak ada di Paparan Sunda.
Namun, keberadaan Podocarpus dan Cycas di Sumba memunculkan dugaan lain bahwa dulu tak seluruh Sumba terendam laut. Itu lantaran kedua jenis tumbuhan itu dapat juga dianggap bukti flora tua dari masa daratan-daratan di muka bumi masih menyatu dalam Pangaea.
Sementara itu, tim LIPI di Sulawesi mengeksplorasi keanekaragaman hayati dan potensi pemanfaatannya di Gunung Gandangdewata, Mamasa, Sulawesi Barat. Tim meyakini endemisitas (kekhasan) tumbuhan dan satwa di sana tinggi. Gunung itu termasuk pusat Sulawesi. "Banyak kemungkinan jenis baru satwa dan tumbuhan liar," ujar Anang Setiawan Achmadi, Koordinator Lapangan Sulawesi Barat Eksplorasi Bioresources LIPI.
Dari sisi satwa, ada dua jenis baru tikus dengan nama lokal lewa lewa dan kambola. Dari tujuh jenis katak endemik Sulawesi, dua di antaranya mungkin jenis baru dan satu dari tiga jenis kadal diduga jenis baru. (JOG)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.