"Semua negara menghadapi ancaman yang sama tanpa terkecuali. Indonesia juga. Tidak ada hanya satu negara yang lebih terancam daripada yang lain," ungkap Ronald M Atlas, ahli mikrobiologi, senjata biologi, dan bioterorisme dari University of Louisvile di Amerika Serikat dalam seminar bertajuk "Infectious Disease and Security: Confronting the Dual Use Dilemma" yang diadakan Lembaga Eijkman, Jakarta, Jumat (2/10/2015).
Atlas mengungkapkan, kasus bioterorisme yang pernah terjadi antara lain adalah kontaminasi bakteri Salmonella pada salad di 10 restoran di Amerika Serikat pada tahun 1984. Lebih dari 750 orang di Oregon sakit. Sepuluh tahun kemudian, terungkap bahwa kontaminasi itu merupakan aksi bioterorisme yang dilatarbelakangi kepentingan politik. Salmonella sengaja disebar sebelum pemilu sehingga warga tak bisa memilih karena sakit.
Kasus kedua terjadi di Jepang. Seorang ilmuwan asal Jepang menebar bakteri anthrax. Kasus itu kemudian terungkap sebagai bentuk bioterorisme. Untungnya, bakteri anthrax yang disebar adalah "versi jinak" sehingga tak mengakibatkan epidemi.
Namun, di Amerika Serikat, aksi bioterorisme dengan bakteri anthrax yang disebarkan dengan amplop pada tahun 2001 berhasil membunuh 5 orang serta membuat lebih dari 20 orang terinfeksi. Akibat aksi tersebut, Pemerintah Amerika Serikat menanggung biaya besar karena harus memberikan dosis profilaksis pada puluhan ribu orang.
Wakil Direktur Lembaga Eijkman, Herawati Sudoyo, mengatakan bahwa aksi bioterorisme sejauh ini memang sangat jarang. Walau demikian, Indonesia tetap harus mempersiapkan diri.
"Kita harus lakukan persiapan sebelum itu terjadi, bukan responsif sesudah ada kasus. Penegak hukum harus masuk dalam biosecurity (ketahanan biologi)," katanya.
Herawati menilai, sejauh ini Indonesia belum siap untuk menghadapi ancaman bioterorisme. Itu tecermin dari penanganan kasus teror di Kedutaan Besar Perancis pada tahun 2012. Kala itu, kedutaan mendapat kiriman amplop berisi bubuk putih dan bertuliskan "Anthrax".
"Yang masuk waktu itu Gegana. Mereka biasa mengamankan TKP, sudah jago banget. Namun, bagaimana kalau ancamannya biologi. Mereka masuk dengan segala atribut yang fancy, tetapi tidak protected," ungkap Herawati.
Untunglah, ancaman anthrax itu hoax. Jika benar, mungkin akibatnya bisa fatal.
Herawati mengingatkan, senjata biologi bisa dikembangkan dengan lebih mudah dan murah. Jadi, lebih banyak orang bisa mengembangkannya dan menyebarkannya untuk kepentingan masing-masing. "Tidak seperti nuklir yang memang mahal. Untuk biological weapon, kit itu murah," katanya.
Sejak tahun 1972, di dunia sebenarnya sudah ada kesepakatan bernama Biological Weapon Convention (BWC). Dalam konvensi itu, semua negara dilarang untuk mengembangkan senjata biologi. Indonesia pun meratifikasinya pada tahun 1992. Walau demikian, ada potensi pada masa depan bahwa konvensi itu akan dilanggar. Hal ini terbukti dari sejumlah kasus bioterorisme. Jadi, kewaspadaan tetap harus ditingkatkan.
Menyusul kasus anthrax pada tahun 2001, Atlas mengatakan bahwa Pemerintah Amerika Serikat dan ilmuwan mengembangkan prosedur keamanan, seperti mengawasi akses pada kultur mikroba mematikan, mengawasi pembelian bahan kimia yang bisa dipakai sebagai bahan untuk membantu mengembangkan mikroba mematikan, serta menyiapkan stok vaksin untuk mengatasi serangan mikroba tertentu yang bisa disebarkan ke seluruh negeri dalam 24 jam.
Herawati mengungkapkan, Pemerintah Indonesia bisa mulai meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bioterorisme di kalangan militer, dan meningkatkan kerja sama antara pihak militer dan pemangku kepentingan dalam bidang kesehatan masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.