Raffles, seperti ditulis Daoed Joesoef dalam Borobudur (Penerbit Buku Kompas, 2004), menjabat Wali Negara Indonesia ketika negeri itu dikuasai Inggris tahun 1811-1816. Raffles sering melaksanakan kunjungan kerja di daerah. Ketika berkunjung ke Semarang, Jawa Tengah, tahun 1814, dia diberi tahu seseorang tentang keberadaan Candi Borobudur di Desa Bumisegoro, dekat Magelang, Jawa Tengah.
Raffles tidak pernah melihat sendiri candi Buddha terbesar di dunia itu. Raffles mengutus seorang Belanda, Cornelius, untuk meninjau lokasi. Dibantu 200 orang warga desa, Cornelius membersihkan situs dari semak belukar dan timbunan tanah.
Laporan kerja Cornelius tersebut menjadi bahan penting oleh Raffles dalam menyusun bukunya Sejarah Jawa yang terbit tahun 1817. Berkat uraian di buku ini, Candi Borobudur mulai dikenal dunia. Berbagai penelitian dan pemugaran dilakukan sejak itu.
Pada 1991, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mengukuhkan Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia.
Sekarang, 200 tahun sejak ditemukan kembali, fisik Candi Borobudur masih menghadapi ancaman kerusakan serius. Seiring berjalannya waktu, kondisi situs warisan dunia ini semakin rentan dengan cuaca ataupun ulah manusia.
Tergerus
Kepala Balai Konservasi Borobudur Marsis Sutopo, seperti dikutip Kompas, Senin (17/11), mengungkapkan, setelah puluhan tahun dikunjungi jutaan wisatawan, bagian tangga Borobudur terus-menerus aus tergerus pijakan kaki manusia.
Selain mengakibatkan keausan bebatuan, kehadiran para pengunjung juga mendatangkan debu dan kotoran yang menempel di lantai, dinding, dan relief candi. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir Borobudur juga terancam abu vulkanik dari Gunung Merapi dan Gunung Kelud.
Untuk mencegah kerusakan lebih serius, seperti dilaporkan Kompas.com, Senin, Pemerintah Jerman bekerja sama dengan UNESCO Perwakilan Indonesia dan Balai Konservasi Borobudur melakukan konservasi struktural dan penelitian terhadap kondisi terkini bebatuan Candi Borobudur.
Hans Leisen, Ketua Tim Ahli dari Jerman, memaparkan, tim terdiri atas tujuh anggota yang memiliki berbagai disiplin ilmu, seperti geologi dan kimia.
Ahli geologi, misalnya, akan fokus melakukan konservasi batu dan sisi geologi Borobudur. Ahli kimia akan mengamati berbagai reaksi kimia pada batu relief. Dalam kegiatan konservasi itu, tim akan memeriksa, mengidentifikasi, dan memetakan kerusakan yang terjadi pada bebatuan relief.
Namun, terlepas dari upaya penyelamatan secara fisik, tak kalah pentingnya adalah memberi nilai dan makna pada mahakarya arsitektur Buddha tersebut.
Daoed Joesoef dalam bukunya Borobudur secara baik telah memaparkan sejumlah nilai dan makna candi yang diperkirakan dibangun antara tahun 650 dan 930 Masehi itu. Nilai itu adalah nilai arkeologis, historis, spiritual, budaya, keilmuan, keindahan, ekonomi, dan politik. Borobudur juga memiliki makna simbolis.
Daoed Joesoef menyimpulkan dalam bukunya, keberadaan Borobudur, bersama candi Hindu, masjid, dan gereja tua, serta aneka ragam bangunan adat, membuktikan betapa nenek moyang orang Indonesia telah merintis tidak hanya pertumbuhan universalisme dan relativisme, tetapi juga pluralisme.
Makna itulah yang perlu dikembangkan sekarang ketimbang hanya menjadikan Borobudur sebuah destinasi wisata yang menghasilkan uang. Komersialisasi Borobudur akan menurunkan martabat monumen arkeologis itu tak ubahnya tempat wisata modern.
Salah satu pemaknaan yang paling layak dikembangkan adalah makna spiritual. Sebagai bangunan Buddha terbesar di dunia, Borobudur dapat dikembangkan sebagai pusat ibadah Buddhisme dunia, tidak hanya menjadi tempat perayaan Waisak setiap tahun. Apabila itu terjadi, semakin lengkaplah Indonesia menjadi ”taman sari” pluralisme untuk mewujudkan Bhinneka Tunggal Ika. (
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : )https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.