Jangan Lagi Tinggal di Pinggiran Jakarta!

Kompas.com - 24/01/2014, 10:32 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis


KOMPAS.com
— Kepada kaum urban yang bekerja di Jakarta, tinggallah di kota, jangan di pinggiran Jakarta. Kepada industri properti, jangan lakukan ekspansi pembangunan perumahan terus ke pinggiran.

Jan Sopaheluwakan, peneliti Pusat Penelitian Geologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengungkapkan, salah satu sebab banjir Jakarta semakin parah ialah fenomena urban sprawl atau ekspansi pembangunan terus ke pinggiran.

"Ada sindroma keberlimpahan. Kita merasa masih punya lahan," kata Jan dalam konferensi pers "Skenario Mengatasi Banjir Jakarta" yang diselenggarakan LIPI di Jakarta, Kamis (23/1/2014).

Jan mengatakan, pada tahun 1972, jumlah wilayah yang dibangun atau dihuni di Jakarta lebih sedikit. Makin lama, pembangunan kawasan hunian makin ke pinggir. Tahun 2005, pembangunan hebat sudah mencapai kawasan Bogor, Depok, Cibinong, dan terus meminggir.

"Perluasan pembangunan ini seperti mengikuti pembangunan jalan tol," kata Jan. "Seperti ada kerja sama antara industri properti dan otomotif," imbuhnya.

Dampak dari perluasan pembangunan, antara lain, berkurangnya tutupan lahan di Bogor dan Puncak. Tutupan hutan di DAS Ciliwung, misalnya, berkurang luasnya dari 9,4 persen pada tahun 2000 menjadi 2,3 persen pada tahun 2010.

Berkurangnya luas tutupan hutan menimbulkan masalah karena wilayah pinggiran Jakarta sebenarnya berfungsi sebagai area serapan air.

Dengan banyak pembangunan, termasuk perumahan, area serapan menjadi berkurang. Ketika hujan tiba, sebagian besar air hujan mengalir lewat permukaan. Akhirnya, dengan curah hujan yang lebih sedikit dari seharusnya, Jakarta bisa banjir.

Tercatat, banjir Jakarta terus meluas. Dari 87,7 kilometer persegi pada tahun 2002 menjadi 231,8 kilometer persegi pada tahun 2007.

Pembangunan kawasan pinggiran yang berdampak pada berkurangnya area serapan juga mengganggu keseimbangan air tanah, padahal kebutuhan makin meningkat. Di Jakarta, air terus diambil sehingga berkontribusi pada penurunan daratan.

Antara tahun 1974 hingga 2010, Jakarta Barat turun 2,1 meter, Jakarta Utara turun 4,1 meter, Jakarta Pusat turun 0,7 meter, dan Jakarta Selatan turun 0,25 meter.

Jan mengingatkan, jika pola pembangunan sekarang terus berlanjut dan air tanah terus diambil, wilayah Jakarta Utara bisa turun -6,6 meter, banjir terus meluas hingga Istana Negara pun bakal terendam, dan Jakarta akan semakin krisis air bersih.

Jan menuturkan, salah satu kunci mengatasi banjir adalah mengajak warga kelas menengah yang bekerja di Jakarta untuk tinggal di kota.

"Kalau perlu, pemerintah memberikan subdisi agar pembelian rumah susun atau apartemen di kota bisa lebih murah," ungkap Jan. Pemerintah juga harus mendorong industri properti agar tidak terus merusak DAS dan tutupan lahan.

Lebih lanjut, Jan mengajak pemerintah keluar dari "kotak" Jakarta dalam pembangunan. "Harus Jabodetabekjurpekgon (Jabodetabek dengan Cikampek dan Cilegon)," katanya.

Ia menjelaskan, perlu penataan wilayah antara zona untuk industri dan ekonomi, hunian, serta pertanian, hutan, dan konservasi. Selain itu, ada koridor konservasi dan koridor ekonomi yang menghubungkan antarwilayah.

Dalam pemikiran Jan, wilayah industri dipusatkan di sekitar Bekasi bagian utara serta barat Jakarta hingga Cilegon.

Sementara itu, terdapat area yang memusatkan pada pelayanan jasa, yakni wilayah Jakarta dan Bandung. Wilayah hutan dan konservasi tetap dipertahankan, meliputi Bogor, Cibodas, serta Pangrango.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Terpopuler

komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau