Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/02/2020, 09:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Minggu, 24 Februari, sejumlah wilayah di Indonesia kembali diguyur hujan lebat. Salah satu daerah yang merasakan banjir akibat hujan deras itu adalah Jakarta dan sekitarnya.

Sebelumnya BMKG mengatakan, curah hujan di tahun 2020 lebih deras dibanding 2019 yang cenderung kering.

Lantas, apa yang menyebabkan curah hujan tahun ini lebih deras dari sebelumnya?

Zadrach Ledoufij Dupe, pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menjelaskan, saat ini Indonesia sedang memasuki puncak musim penghujan.

Selain itu, adanya El Nino lemah dan Dipole Mode pada 2019 juga mengakibatkan curah hujan terganggu dan dampaknya sekarang.

Baca juga: Banjir Jakarta Akibat Perubahan Iklim, Ini Upaya yang Bisa Dilakukan

Untuk diketahui, El Nino adalah fenomena memanasnya suku muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur. Untuk wilayah Indonesia, dampak El Nino adalah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan.

Sementara Dipole Mode (DM), merupakan fenomena mirip El Nino, tapi kejadiannya di Samudra Hindia. Fenomena ini mengakibatkan perairan di sekitar Indonesia jauh lebih dingin dari biasanya dan menyebabkan tidak adanya penguapan.

Zadrach menjelaskan, ketika fenomena Dipole Mode muncul, udara di Indonesia bergerak turun ke bawah.

Dipole Mode menyebabkan Indonesia tidak memiliki pertumbuhan awan, curah hujan minim, dan udara kering bergerak sampai Australia yang menyebabkan kebakaran parah juga di sana.

"Jadi seolah-olah musim penghujan kita kemarin mengalami stres. Ibaratnya angin yang membawa uap air ke Indonesia ditahan oleh El Nino dan Dipole Mode, kemudian saat El Nino dan Dipole Mode pergi, otomatis yang menahan cuaca kita juga ikut pergi, udara lembab masuk Indonesia dan curah hujan yang sebelumnya tertahan langsung bles aja," jelas Zadrach kepada Kompas.com dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (27/2/2020).

Zadrach menjelaskan, adanya El Nino dan Dipole Mode di awal hingga pertengahan 2019 tersebut berdampak pada awal musim penghujan.

"Kalau musim penghujan kan mulai dari September sampai Maret. Nah dari September sampai Desember kemarin, hujan kita ditahan oleh El Nino dan Dipole Mode sehingga tidak bisa turun. Hal inilah yang membuat awal musim penghujan mundur dan sekarang kondisinya kita masuk puncak musim penghujan," imbuhnya.

Baca juga: Jakarta Banjir Lagi, Berikut 6 Sejarah Banjir Terbesar di Ibu Kota

Apa ada dampak perubahan iklim?

Zadrach mengaku sulit menjawab pertanyaan tersebut. Karena saat berbicara soal perubahan iklim, ada data panjang yang harus dibuktikan.

Saat ini, Zadrach dan beberapa mahasiswanya sedang mengerjakan studi apakah betul fenomena-fenomena seperti lahirnya El Nino dan Dipole Mode yang memengaruhi cuaca adalah dampak perubahan iklim.

"Studinya belum selesai, jadi saya enggak berani ngomong. Tapi secara teoritis, memang begitu. Kalau temperatur udara makin panas, maka uap air yang dikandung atmosfer makin besar, dan hujan angin makin ekstrem," kata Zadrach.

Dalam studi yang sedang dikerjakan ini, Zadrach mengaku menggunakan data fenomena yang terjadi di Samudra Hindia sejak 1920.

"Jadi sekarang kami masih lakukan studinya untuk menjawab itu (apa ada dampak perubahan iklim," imbuhnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com