Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Uji Coba Vaksin HIV Gagal Lagi, Ilmuwan: Ini Kekecewaan Besar

Kompas.com - 04/02/2020, 13:03 WIB
Amalia Zhahrina,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.COM - Pencarian vaksin yang tepat untuk menangani virus AIDS selalu menghasilkan kegagalan bagi para ilmuwan.

Bahkan, vaksin HIV yang telah bergerak paling jauh dalam pengujian manusia juga tidak berhasil. Uji coba 104 juta dollar AS (setara lebih dari Rp 1,4 triliun) di Afrika Selatan yang mengevaluasi itu, telah dihentikan lebih awal.

Hal ini disampaikan oleh Glenda Gray, kepala dari penelitian dan presiden Dewan Penelitian Medis Afrika Selatan (MRC), dia mengatakan bahwa tidak ada sama sekali bukti yang manjur dari uji coba vaksin HIV ini.

“Bertahun-tahun bekerja untuk ini. Ini kekecewaan besar" ungkapnya seperti dilansir Science Magazine (3/2/2020).

Baca juga: Lawan Virus Corona Wuhan, Pemerintah Beijing Gunakan Obat HIV

Proses uji coba vaksin HIV ini didanai oleh MRC, Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular AS (NIAID), dan Yayasan Bill & Melinda Gates.

Awalnya, studi efikasi yang dilakukan Gray dan timnya dimulai pada Oktober 2016, dikenal dengan HVTN 702.

Ia mendaftarkan 5407 pria dan wanita tidak terinfeksi HIV yang aktif secara seksual berusia antara 18 dan 35 tahun di 14 lokasi di seluruh negeri.

Setelah itu, para peneliti secara acak menugaskan setengah dari peserta untuk menerima sepasang vaksin HIV yang digunakan dalam pukulan satu-dua, atau disebut dorongan utama, sedangkan setengah lainnya menerima suntikan plasebo.

Uji coba itu seharusnya berlangsung hingga Juli 2022.

Dorongan utama adalah adalah virus canarypox yang tidak berbahaya yang membawa gen untuk protein permukaan HIV dan dua protein struktural lainnya. Ini juga mengandung versi rekombinan dari protein permukaan dicampur dengan penguat sistem kekebalan tubuh, atau MF59.

Namun, pada 23 Januari, sebuah dewan pemantauan independen yang dijadwalkan, menyelinap ke data-data untuk mengevaluasi keamanan dan kemanjuran.

Mereka juga memberitahu Gray dan para pemimpin penelitian lainnya bahwa uji coba yang dilakukan hanya sia-sia. Sementara itu, terdapat 129 infeksi pada kelompok yang divaksinasi dan 123 pada mereka yang menerima plasebo, atau obat kosong.

Walaupun begitu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksin tersebut menyebabkan kerusakan, seperti pada penelitian vaksin HIV besar yang berbeda tetapi tiba-tiba dihentikan pada tahun 2007.

Susan Buchbinder, seorang ahli epidemiologi di University of California, San Francisco, yang ikut memimpin pada penelitian sebelumnya, memberi selamat kepada rekan-rekannya di Afrika Selatan karena telah melakukan uji coba yang rumit dan ilmiah.

Baca juga: HIV hingga Herpes, Apa Saja Penyakit Akibat Seks Anal?

Akan tetapi, masih banyak ilmuwan HIV meragukan penelitian di Afrika Selatan akan berhasil karena vaksin yang digunakan dalam skema dorongan utama hanya menghasilkan hasil yang kurang memuaskan seperti penelitian kemanjuran di Thailand.

Dalam penelitian di Thailand yang berakhir pada 2009, kemanjuran vaksin hanya berkisar 30 persen. Akhirnya, para ilmuwan sepakat bahwa vaksin ini tidak efektif tetapi mereka bingung apakah membangun kembali vaksin tersebut atau mengabaikannya.

Oleh karena itu, Grey dan rekan-rekannya memutuskan untuk sedikit memperbaiki vaksin yang digunakan di Thailand, mengingat Afrika Selatan adalah rumah bagi 7,7 juta dari 37,9 juta orang di dunia yang terinfeksi HIV.

Direktur NIAID, Anthony Fauci mengatakan dia juga tidak menyesal mendukung studi ini. “Saya pikir itu bukan pilihan yang buruk. Itu satu-satunya pilihan".

Hingga hari ini, tidak ada yang tahu kekebalan mana yang dapat mencegah infeksi HIV, atau disebut berkorelasi dengan kekebalan, tetapi banyak peneliti telah berfokus pada pembuatan vaksin yang dapat memicu antibodi yang mampu “menetralkan” kemampuan virus untuk menginfeksi sel dalam studi laboratorium.

Vaksin uji coba Thailand memicu produksi antibodi yang terikat pada HIV tetapi tidak menetralisir.

Fauci mencatat, meningkatkan kemungkinan cukup baik untuk menawarkan perlindungan.

"Kami berjuang selama bertahun-tahun, dan karenanya kami meraih efek positif sekecil apa pun, yang berpotensi berkorelasi dengan kekebalan, dan itu tampak menarik, mengingat seriusnya epidemi ini, jika hanya ini yang kita miliki dan vaksin yang merangsang antibodi penetralan sudah bertahun-tahun, apakah Anda melakukan sesuatu atau tidak sama sekali?" ujar Fauci.

Fauci juga mengatakan bahwa studi Thailand yang melibatkan orang-orang dengan risiko infeksi yang relatif rendah, hanya meningkatkan infeksi baru sekitar 0,3 persen per tahun.

Artinya, dorongan utama dapat bekerja jika kekebalan yang diciptakannya tidak menghadapi tantangan yang berulang. Dalam penelitian di Afrika Selatan, tingkat infeksi baru per tahun adalah sekitar 4 persen pada wanita dan 1 persen pada pria.

Baca juga: Hari AIDS Sedunia, Begini 4 Tahap HIV Berkembang jadi AIDS

Mitchell Warren, yang mengepalai AVAC, kelompok advokasi pencegahan HIV nirlaba, mengatakan kegagalan terbaru ini tidak akan memperlambat bidang vaksin.

“Ada produk lain dalam uji efikasi dan ada pipa yang sedikit lebih besar dalam uji coba fase I daripada yang kita miliki dalam waktu yang lama” kata Warren, yang berada di dewan pemantauan yang merekomendasikan untuk menghentikan penelitian di Afrika Selatan.

Kandidat vaksin yang sedang diuji dalam uji coba Mosaico sekarang menjadi yang terdepan.

Dibuat oleh Vaksin Janssen, skema pendorong utamanya dimulai dengan persiapan yang mengandung "mosaik" gen HIV dari subtipe berbeda dari virus yang dijahit oleh para peneliti menjadi adenovirus yang tidak berbahaya.

Dalam tes sebelumnya, vaksin ini juga tidak memicu antibodi penetral, tetapi menghasilkan antibodi pengikat tingkat tinggi dan respons imun lainnya. Booster terdiri dari versi mosaik protein permukaan HIV yang dicampur dengan bahan pembantu alum.

Campuran penambah utama ini bekerja dengan baik dalam studi monyet yang memvaksinasi hewan dan kemudian “menantang” mereka dengan bentuk HIV yang serupa.

Dalam persidangan Mosaico, orang-orang transgender dan pria yang berhubungan seks dengan pria di Amerika Utara dan Eropa akan menerimanya.

Vaksin ini juga sedang diuji dalam studi yang lebih kecil, Imbokodo, tentang wanita di Afrika sub-Sahara. Hasil dari Imboko diharapkan tahun depan dan Mosaico pada 2023.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com