Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rokok Elektrik Bukan Alternatif Berhenti Merokok, Ini Penjelasan Ahli

Kompas.com - 18/01/2020, 10:32 WIB
Ellyvon Pranita,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebagian orang menganggap rokok elektrik atau rokok elektronik adalah alternatif untuk berhenti merokok.

Namun, hal ini secara tegas dibantah oleh banyak praktisi medis karena rokok elektronik tidak terbukti dapat membantu seseorang berhenti merokok.

Seperti yang disampaikan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dr Agus Dwi Susanto SpP(K), Badan Kesehatan Dunia (WHO) tidak pernah menyarankan rokok elektronik sebagai pengganti dan alternatif berhenti memakai rokok konvensional.

Justru rokok eletronik apa pun jenisnya tetap memiliki banyak kesamaan dengan rokok konvensional biasanya.

Baca juga: INFOGRAFIK: Mengenal EVALI, Penyakit Paru Misterius akibat Rokok Elektrik

"Rokok elektronik memiliki kandungan yang sama dengan rokok konvensional," kata Agus dalam acara bertajuk "Pengendalian Hasil Produk Tembakau Lainnya (HPTL)" di Jakarta, Rabu (15/1/2020).

Kandungan yang dimiliki dalam rokok elektronik tersebut juga sama berisikonya terhadap berbagai penyakit, seperti kandungan pada rokok konvensional.

Setidaknya, dijelaskan Agus, ada tiga kandungan yang terdapat pada uap rokok elektronik dan berbahaya bagi kesehatan tubuh.

1. Nikotin

Nikotin merupakan senyawa kimia yang dapat menyebabkan kecanduan atau adiksi pada orang yang mengonsumsinya.

Hal ini sama dengan yang ada pada rokok konvensional dan juga beragam obat terlarang lainnya.

Baca juga: Siswa Belajar Mengamati Langsung Bahaya Rokok Elektrik dan Tradisional

Bahkan, dampak jangka panjang dari nikotin ini, kata Agus, salah satu kronologinya jika masuk ke pembuluh darah maka akan menyebabkan berbagai gangguan yang berhubungan dengan kardiovaskular (jantung).

2. Karsinogen

Seperti diketahui bahwa bahan karsinogen merupakan penyebab utama pada penyakit kanker.

Meskipun yang paling sering adalah kanker paru, tetapi beberapa kasus justru ada yang mengalami kanker darah dan juga gagal ginjal.

Namun, diakui Agus, orang jarang mengakui rokok elektronik ataupun rokok konvensional ini berbahaya seperti menyebabkan kanker paru.

Padahal, kegiatan merokok itu menghirup, menginhalasi, sehingga yang paling pertama berdampak yaitu saluran pernapasan yang berujung ke paru.

"Merokok sehari atau dua hari tidak langsung memicu kanker paru, karena paling tidak butuh waktu 15 hingga 20 tahun baru terdeteksi (kanker paru) dan terasa sakitnya. Makanya, banyak yang acuh saja," ujarnya.

Sudah banyak studi di luar yang membuktikan adanya kandungan karsinogen dalam rokok elektronik dan rokok konvensional.

Baca juga: Menkes Siap Tampung Aspirasi Publik soal Pro-Kontra Rokok Elektrik

3. Mengandung bahan bersifat toksik

Kandungan dalam rokok yang bersifat toksik akan merangsang timbulnya peradangan.

"Risiko yang muncul dari kandungan toksik ini adalah penyakit-penyakit yang bersifat inflamatori atau peradangan," tuturnya.

Contoh penyakit yang terjadi karena peradangan ini seperti infeksi saluran pernapasan akut, seperti ISPA, asma, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

Agus menegaskan, risiko beragam penyakit dari rokok konvensional, dalam dua hingga tahun belakangan sudah banyak yang menunjukkan risiko penyakit itu juga berlaku bagi pemakai rokok elektronik.

Disebutkan juga oleh Agus, beberapa bahan berbahaya lainnya yang sering ada dalam produk rokok elektrik maupun konvensional yaitu seperti Glyserol, heavymetals, aldehyde, nitrosamin, silikat dan nanopartikel, serta particulate matter.

Baca juga: Rokok Elektrik Bukan Pilihan Sehat Pengganti Rokok

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau