Oleh Stephan Lewandowsky
BARU-baru ini, Inggris memilih perdana menteri yang secara tidak sah membekukan parlemen untuk menghindari penyelidikan demokratis dan yang secara terang-terangan mengeluarkan pernyataan palsu, kapan pun ia mau.
Boris Johnson dengan santai menyangkal keberadaan media di depan kamera TV dan ia mengelak tentang elemen inti perjanjian Brexit yang dia susun, seperti perlunya pemeriksaan pabean antara Inggris dan Irlandia Utara.
Pada 2016, pemilih Amerika Serikat (AS) dihadapkan pada pilihan antara seorang kandidat presiden yang 75% pernyataan kampanyenya akurat dan kandidat lainnya yang 70% klaimnya salah menurut salah satu lembaga pengecekan fakta.
Orang Amerika kemudian memilih Donald Trump yang telah membuat lebih dari 13.000 klaim salah atau menyesatkan sejak menjabat.
Tingkat kepuasan publik (approval rating) terhadap Trump cenderung stabil selama dua tahun dan sebanyak 77% Republikan menganggapnya jujur.
Johnson terpilih dengan kemenangan telak dan lebih dari setengah penduduk Inggris tidak peduli dengan tindakan Johnson yang membekukan parlemen.
Kenapa ini bisa terjadi? Mengapa para demagog tukang bohong memiliki daya tarik dalam masyarakat yang memiliki sejarah panjang demokrasi dan empirisme?
Apakah orang-orang tidak peka terhadap kebohongan? Apakah mereka tidak dapat membedakan antara yang benar dan yang salah? Apakah orang-orang tidak lagi peduli pada kebenaran?
Jawabannya bergantung dan bertumpu pada perbedaan antara pemahaman konvensional kita mengenai kejujuran dan gagasan “keaslian”. Elemen utama dari kejujuran adalah akurasi faktual, sedangkan elemen utama dari keotentikan adalah keselarasan antara persona pribadi dan persona publik dari seorang politikus.
Penelitian tim saya telah menunjukkan bahwa pemilih Amerika - termasuk pendukung Trump - responsif terhadap koreksi kebohongan Trump. Saat publik mengetahui bahwa sebuah klaim itu salah, tingkat kepercayaan mereka pada klaim tersebut juga berkurang.
Namun, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara berkurangnya kepercayaan mereka dan perasaan mereka terhadap Trump di antara para pendukungnya. Dukungan publik tetap stabil, walau mereka menyadari pernyataan Trump tidak akurat.
Pemilih bisa jadi memahami dengan baik bahwa seorang politikus berbohong, dan mereka mungkin mengabaikan kebohongan itu ketika ditunjukkan kebenarannya. Tapi pemilih yang sama, tampaknya, menerima dibohongi tanpa ada dampak pada kandidat favoritnya.
Putusnya hubungan antara persepsi akurasi dan dukungan untuk politikus ini telah diperlihatkan berulang kali oleh tim kami dan juga peneliti lain yang menggunakan metodologi berbeda.
Tapi bukan berarti orang-orang telah tidak peduli akan kebenaran dan kejujuran dalam politik sama sekali.
Penelitian yang dipimpin oleh Oliver Hahl dari Carnegie Mellon University telah mengidentifikasi keadaan khusus ini, yaitu orang menerima politikus yang berbohong.
Ketika orang merasa kehilangan haknya dan terpinggirkan dari sistem politik, mereka kemudian menerima kebohongan dari seorang politikus yang mengklaim diri membela “rakyat” melawan “kemapanan” atau “elite”.
Dalam keadaan-keadaan khusus tersebut, perilaku pelanggaran mencolok terhadap hal-hal yang diperjuangkan oleh elite ini - seperti kejujuran atau keadilan - dapat menjadi sinyal bahwa politikus tersebut adalah pejuang sejati “rakyat” melawan “kemapanan”.
Untuk politikus populis, seperti Trump dan Johnson, yang secara eksplisit mengadu antara sesuatu yang dimitoskan sebagai rakyat melawan sesuatu yang dimitoskan sebagai elite, perbuatan terang-terangan mengabaikan fakta justru mempertegas keotentikan mereka di mata para pendukung.
Berapa pun banyaknya pengecekan fakta tidak akan mengurangi daya tarik Trump, Johnson, Rodrigo Duterte (Presiden Filipina), Jair Bolsonaro (Presiden Brasil) atau demagog populis lainnya di seluruh dunia.
Untuk melemahkan demagog dan membuat kebohongan tidak dapat diterima lagi, kepercayaan pemilih terhadap sistem politik harus dipulihkan.
Penelitian oleh Hahl dan koleganya juga menunjukkan bahwa ketika orang-orang menganggap sistem politik itu sah dan adil, mereka menolak politikus yang berbohong dan mereka benci dibohongi.
Jadi, kunci untuk bergerak maju adalah mengupayakan politik yang dapat mengurangi daya tarik demagog populis dan memberi keuntungan pada politikus agar lebih jujur.
Tidak ada resep yang cepat dan mudah untuk proses ini. Tapi jelas bahwa rakyat AS perlu memiliki pembahasan politis tentang ketimpangan pendapatan.
Pada tahun 2015, 24 manajer pengelola investasi global menghasilkan uang lebih banyak daripada seluruh guru taman kanak-kanak di AS, dan sekarang miliarder membayar tarif pajak yang lebih rendah daripada semua orang AS.
Tidak mengherankan bahwa ketimpangan telah diidentifikasi sebagai salah satu variabel yang menyebabkan turunnya legitimasi demokrasi di mata orang banyak.
Johnson menolak untuk melihat foto seorang anak laki-laki penderita pneumonia yang dipaksa tidur di lantai rumah sakit. Ketika pelayanan kesehatan seperti itu tidak dapat lagi diterima dan begitu anak-anak yang sakit menemukan tempat yang baik di rumah sakit, kebohongan Johnson tidak akan lagi menjadi daya tarik.
Sangat menggembirakan untuk mengetahui bahwa di negara lain dengan struktur dan kebijakan politik yang berbeda, pemilih tidak menoleransi kebohongan politikus. Penelitian yang dilakukan oleh tim saya di Australia telah menunjukkan bahwa pemilih Australia akan mengurangi dukungan pada politikus yang diketahui tidak jujur.
Menggunakan metodologi yang persis paralel dengan penelitian kami terhadap pemilih di Amerika, kami menemukan bahwa, tidak seperti di Amerika, koreksi atas kesalahan politikus membuat pemilih Australia cenderung tidak mendukung mereka. Efek ini muncul tidak terpengaruh pilihan politik, artinya pemilih tidak menoleransi kebohongan bahkan yang datang dari kubu mereka sendiri.
Di Australia, memilih itu wajib dan preferensial. Seluruh warga wajib memilih atau jika tidak bisa didenda; pemilihan dilakukan dengan memberi peringkat pada seluruh partai politik. Cara semacam ini membantu mencegah polarisasi politik; ini menegaskan bahwa sebuah sistem politik dapat menentukan kesejahteraan sebuah negara.
Stephan Lewandowsky
Chair of Cognitive Psychology, University of Bristol
Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Mengapa orang-orang memilih politikus yang jelas-jelas tukang bohong". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.