Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang gemar melihat bintang dan menekuri Bumi.

Panjer dan Coblong, Repihan Sudut Nusantara Berlatar Gerhana Surya

Kompas.com - 26/12/2019, 10:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HARI itu, Rabu tanggal 7 April 1502 M atau 29 Ramadhan 907 H, tanah Jawa sedang menjalani masa metamorfosa.

Di ujung timur, Kerajaan Majapahit yang tua masih bertahta namun kian berkeping saja seakan hendak mencapai paripurnanya. Sedang di bagian tengah kekuasaan Kesultanan Demak sedang mulai menjulang seiring mulai bertahtanya Raden Patah yang menyandang gelar Sultan Alam Akbar al-Fattah.

Mengambil posisi di ujung barat Selat Muria nan ramai, Kerajaan Demak segera menjadi sebuah kerajaan maritim yang kuat yang menyebarkan pengaruhnya kemana-mana.

Di sisi selatan dari tanah Jawa bagian tengah ini terdapat Lembah Luk Ulo yang dialiri Ci Lohku, nama kuno dari Sungai Lukulo.

Pada tepian salah satu anak sungainya, yakni Kali Kedungbener, telah berdiri sebuah pondok pesantren sejak seperempat abad sebelumnya yang diasuh oleh Sayyid Abdul Kahfi al-Hasani. Prasasti berbahan batu zamrud menandai saat berdirinya pesantren, yakni 25 Sya’ban 879 H (4 Januari 1475), di tanah tsumma dha’u yang beraroma harum.

Kini pondok pesantren tersebut masih eksis yang dikenal publik sebagai Pesantren Somalangu dan menjadi salah satu pondok pesantren tertua seantero Asia Tenggara.

Di penghujung bulan Ramadhan itulah, sebuah peristiwa yang langka dan sangat mengesankan terjadi di langit setempat.

Perhitungan astronomi modern menunjukkan mulai pukul 11:39 WIB, langit siang secara berangsur-angsur meredup dan menggelap. Matahari secara perlahan-lahan tampak ‘robek.’

Mulai sekitar pukul 13.04 WIB, langit menjadi betul-betul gelap dengan Matahari berubah menjadi bundaran hitam bermahkota putih lembut. Bintang-bintang pun bertaburan menghiasi langit yang sesungguhnya masih siang bolong.

Situasi berlangsung selama hampir 5 menit kemudian. Selepas itu langit siang secara berangsur-angsur kembali bertambah terang dan Matahari pun kembali ke bentuk bundarnya mulai sekitar pukul 14:31 WIB.

Tak ada penduduk setempat yang memprakirakan kejadian ini sebelumnya. Namun begitu langit menggelap, dapat diduga orang-orang pun riuh menabuh lesung mengikuti tradisi Jawa akan mitos Batara Kala menelan sang surya.

Menggelapnya langit merupakan bagian dari peristiwa Gerhana Matahari Total saat itu.

Gerhana Matahari Total di tengah siang bolong, di saat Matahari sedang berkulminasi atas (istiwa’) yang menandai awal waktu Dhuhur, di penghujung bulan suci bagi Umat Islam, nampaknya menimbulkan kesan sangat mendalam khususnya bagi orang-orang yang tinggal di antara tepi Ci Lohku hingga tepi kali Kedungbener.

Peristiwa luar biasa itu mungkin menjadi inspirasi guna menamakan daerah tersebut sebagai Panjer. Dalam Bahasa Jawa, kata Panjer memiliki kedudukan dan makna yang sama dengan Manjer.

Riset Widya Sawitar, astronom senior di POJ (Planetarium dan Observatorium Jakarta), menunjukkan orang Jawa mengenal sekitar 90 nama julukan untuk Matahari. Nama-nama julukan tersebut sebagian merupakan pengaruh dari bahasa Sansekerta. Nama-nama julukan tersebut umumnya terkait pranata mangsa, sebagai simbolisasi keseharian, menandai rentang waktu dan penanda fenomena alam tertentu.

Kata Manjer adalah salah satu dari 90 nama julukan Matahari di Jawa. Manjer memiliki yang sama dengan transit Matahari atau istiwa’, situasi saat Matahari mencapai titik kulminasi atas dalam peredaran semu hariannya.

Kulminasi atas Matahari sesungguhnya terjadi setiap hari dan bukan merupakan peristiwa langit yang cukup unik dari perspektif astronomi. Namun manakala peristiwa Gerhana Matahari Total yang sangat langka terjadi kala sang Surya sedang manjer terlebih di penghujung bulan Ramadhan pada daerah yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam, kesan yang ditimbulkannya akan luar biasa dan menginspirasi.

Lebih dari seabad kemudian, Panjer telah berkembang meluas dan terstruktur. Nama Panjer menyeruak ke pentas sejarah saat Sultan Agung mempersiapkan invasi ke Batavia yang dikuasai VOC dari Belanda.

Tersebut Ki Bagus Badranala yang menyiapkan keperluan logistik dan sumberdaya manusia untuk mendukung invasi tersebut dalam kurun 1627-1629 TU. Atas jasa-jasanya, Ki Bagus Badranala dikukuhkan sebagai Ki Gede Panjer Roma pada 21 Agustus 1629. Berselang 13 tahun kemudian ia dilantik menjadi Panembahan Badranala sebagai Bupati Panjer yang pertama.

Bahwa dua abad kemudian terjadi gempa politik di tanah Jawa seiring meletusnya Perang Jawa (Perang Dipanegara) yang demikian menghancurkan, yang memaksa berubahnya nama Kabupaten Panjer menjadi Kabupaten Kebumen, hal itu tidak menghilangkan ketokohan Panembahan Badranala.

Tanggal 21 Agustus 1629 pun kini ditetapkan sebagai Hari Jadi Kab. Kebumen.

Hingga saat ini, belum ditemukan bukti tertulis maupun cerita tutur (lisan) terkait asal-usul nama Panjer dan peristiwa Gerhana Matahari Total di tengah siang bolong.

Namun dalam sudut pandang toponomi, yakni cabang ilmu pengetahuan yang menguak hubungan antara fenomena alam setempat dengan nama tempat tersebut, hal itu tetap berterima.

Terdapat banyak tempat di tanah Kebumen yang mengandung nama karang- yang secara tertulis maupun lisan belum juga diketahui asal-usulnya. Namun dengan pendekatan toponomi, kata karang- yang melekat pada nama tempat-tempat tersebut terbukti merepresentasikan fenomena alam setempat terkait pegunungan/perbukitan dan formasi-formasi batuan yang khas.

Seberapa langkanya peristiwa Gerhana Matahari di bagian tengah tanah Jawa khususnya di Kebumen? Dalam kurun waktu lima abad terakhir, hanya ada tiga peristiwa Gerhana Matahari Total yang zona umbranya melintasi daerah ini.

Selain Gerhana Matahari Total 7 April 1502 M, ada Gerhana Matahari Total 24 Juli 1683 M dan Gerhana Matahari Total 11 Juni 1983 M. Dua Gerhana Matahari itu terjadi di pagi hari dan hanya Gerhana Matahari Total 7 April 1502 Myang terjadi pada saat manjer.

Selain manjer, nama julukan Matahari lainnya bagi orang Jawa, khususnya di tanah Jawa bagian tengah, adalah coblong, pagowong dan bagowong. Ketiga-tiganya adalah nama julukan spesifik bagi sebuah peristiwa langit yang sama, yakni Gerhana Matahari Total.

Khusus Coblong, terdapat satu daerah yang menyandang nama demikian. Tetapi uniknya berada di ujung barat tanah Jawa, tempat yang menjadi peraduan budaya Sunda. Coblong adalah sebuah daerah penting di pusat Kota Bandung, terletak di sisi utara Gedung Sate yang menjadi pusat pemerintahan propinsi Jawa Barat dan menaungi dua kampus perguruan tinggi termasyhur: Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjadjaran.

Kota Bandung terletak di dalam Cekungan Bandung, yang secara geologis merupakan daratan bekas dasar danau purba. Danau Bandung namanya, atau diromantisasi sebagai Situ Hyang.

Dalam buku Bandung Purba, T Bachtiar memaparkan Danau Bandung terbentuk sekitar 105.000 tahun silam kala terjadi letusan dahsyat Gunung Sunda yang memuntahkan sekitar 110 kilometer kubik magma, setara batuan dengan 60 persen di antaranya merupakan material vulkanik berat yang mengalir ke timur laut, selatan dan baratdaya sebagai awan panas letusan dan seruakan (surge).

Awan panas letusan yang mengalir ke baratdaya membendung Sungai Citarum, sehingga terbentuk genangan Danau Bandung dengan air 20 hingga 30 meter. Danau Bandung kemudian mengering pada sekitar 16.000 tahun silam akibat proses erosi-mudik Sungai Citarum yang membobol Pegunungan Rajamandala.

Selama Danau Bandung tergenangi air, telah tumbuh komunitas-komunitas manusia purba ditandai dengan penemuan alat-alat batu khas. Situs-situs alat-alat batu tersebut ditemukan di atas kontur elevasi tertentu yang menandakan sebagai batas genangan Danau Bandung.

Selain itu, memori tentang Danau Bandung di masa silam mewujud ke dalam nama-nama daerah di Bandung, secara toponomi. Sebagai buktinya banyak daerah di dalam cekungan Bandung yang menyandang kata cai- (air/sungai), situ- (danau), ranca- (rawa-rawa), talaga- (danau kecil), ujung- (daratan yang menjorok ke perairan) dan sebagainya.

Coblong tidak demikian, ia sama sekali tak terkait dengan latar belakang perairan maupun bentang lahan perairan. Sebaliknya Coblong, dalam Bahasa Jawa, justru terkait dengan peristiwa di langit.

Dalam beberapa hal kata-kata di Bahasa Sunda memiliki bunyi dan makna yang hampir sama dengan kata-kata di Bahasa Jawa. Sehingga, seperti kisah Panjer di atas, secara toponimi nama Coblong pada suatu daerah mungkin terinspirasi dari peristiwa langit yang langka: Gerhana Matahari Total. Gerhana yang zona umbranya melintasi Cekungan Bandung di masa silam.

Dengan menggali data-data Gerhana Matahari yang tercantum pada buku Five Millenium Canon of Solar Eclipses karya Fred Espenak (astronom NASA, Amerika Serikat), dapat diketahui bahwa selama empat millenia terakhir, terjadi 28 peristiwa Gerhana Matahari yang zona umbranya melintasi Cekungan Bandung. Hanya sembilan di antaranya yang merupakan Gerhana Matahari Total.

Dengan memperhitungkan faktor-faktor musim hujan, kejadian Gerhana pada saat Matahari terbit atau terbenam dan kedatangan bangsa Eropa, maka tersisa tiga kandidat peristiwa Gerhana Matahari Total yang mungkin menginspirasi nama Coblong di Kota Bandung.

Ketiganya yakni Gerhana Matahari Total 4 Agustus 1389 SM yang memiliki durasi totalitas terlama (yakni 5 menit), lalu Gerhana Matahari Total 10 Agustus 435 M (durasi totalitas 2 menit) dan Gerhana Matahari Total 7 Juli 834 M (durasi totalitas 3 menit).

Sayangnya data Gerhana Matahari pada buku tersebut terbatas hanya hingga tahun 1999 SM saja. Butuh analisis lebih lanjut untuk mengungkap Gerhana-Gerhana Matahari yang terjadi sebelum 1999 SM dengan zona umbra melintasi Cekungan Bandung.

Sebab daerah ini mungkin telah dihuni manusia sejak masa genangan Danau Bandung masih ada, yakni lebih dari 16.000 tahun yang lalu.

Seperti halnya bangsa-bangsa lainnya di dunia, leluhur manusia Indonesia di masa silam mempelajari astronomi sebagai bagian dari bertahan hidup.

Guna menghindari berpapasan dengan fenomena-fenomena alam tertentu yang merugikan (misalnya musim kemarau) dan mengeksploitasi fenomena alam lainnya yang menguntungkan (misalnya musim hujan) guna bercocok tanam dan mengembangkan peradaban.

Dalam kesempatan yang sama juga mewariskan pengetahuan tersebut pada nama-nama daerah dan istilah-istilah unik bagi anak cucunya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau