Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesenjangan Emisi CO2, PBB Ingatkan Bencana Iklim Mematikan

Kompas.com - 28/11/2019, 20:09 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Dengan ditandatanganinya Persetujuan Paris tentang perubahan iklim pada tahun 2015, para pemimpin dunia sepakat untuk membatasi pemanasan global di akhir abad ini menjadi 1,5 derajat Celsius (idealnya) atau tidak lebih dari 2 derajat Celsius.

Tetapi sebuah laporan dari PBB yang diterbitkan Rabu (26/11/2019) mengatakan, target tersebut masih sangat jauh untuk bisa dicapai.

Alih-alih mengurangi emisi, manusia justru melepaskan lebih banyak CO2 pada 2018 dibanding sebelumnya, menurut Laporan Kesenjangan Emisi Global tahunan itu.

Tahun lalu misalnya, 55,3 gigaton CO2 global dipompa ke atmosfer, meningkat dibanding pada 2017 sebanyak 53,5 gigaton.

Menurut laporan itu, suhu global diperkirakan akan naik sekitar 3,2 derajat Celsius pada tahun 2100, sehingga akan membawa bencana iklim, seperti suhu yang semakin panas, gelombang panas yang lebih mematikan, bahkan banjir dan kekeringan yang akan semakin sering terjadi.

Baca juga: PLTA Batangtoru Diklaim Bisa Kurangi Emisi CO2 1,6 Juta Metrik Ton

Perubahan kecil dari pencemar besar

"Kegagalan kolektif dalam bertindak cepat dan keras akan perubahan iklim mengharuskan kita untuk mengurangi emisi lebih besar, lebih dari 7 persen per tahun jika kita membagi rata selama satu dekade berikutnya," kata Inger Andersen, Direktur Eksekutif PBB untuk Program Lingkungan (UNEP).

"Dari 2030, 15 gigaton CO2 harus dikurangi setiap tahunnya," tambahnya.

Jumlah itu kira-kira sama dengan gabungan emisi tahunan dari Uni Eropa, India, Rusia, dan Jepang.

Upaya untuk mengurangi emisi CO2 harus ditingkatkan lima kali lipat untuk mencapai target 1,5 derajat Celsius, sebuah proyeksi yang sudah ditulis dalam laporan versi sebelumnya.

Bedanya, menurut Anne Ohlhoff, salah satu penulis untuk laporan tahun 2019, mengatakan bahwa waktu perlahan-lahan sudah mulai habis.

Yang seharusnya paling bertanggung jawab atas peningkatan emisi secara terus menerus adalah G20, kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Negara-negara G20 disebut mengeluarkan sebanyak 43 gigaton CO2 atau setara dengan 78% emisi gas rumah kaca secara global.

Selain itu, negara-negara berkembang yang pertumbuhannya cepat juga berkontribusi terhadap tingginya emisi, kata John Christensen, Direktur UNEP DTU Partnership, sebuah Grup Penelitian Iklim Internasional.

Namun, negara-negara itu tidak dapat diharapkan menjadi yang pertama dalam mengurangi emisi. “Negara-negara industrilah yang seharusnya memimpin,” ujarnya.

Menurut Ohlhoff, meski sudah ada beberapa hasil konkret, beberapa hal telah berubah secara politik dalam beberapa tahun terakhir.

"Kita tahu harus melakukan apa," kata Ohlhoff.

Cara menutup kesenjangan emisi

Laporan dari PBB itu menyebutkan lima kunci utama yang menjadi penentu masa depan:

  1. Investasi setidaknya Rp 22,4 triliun per tahun untuk energi terbarukan dan penggunaan energi yang lebih efisien.
  2. Penghapusan batubara secara bertahap
  3. Dekarbonisasi transportasi
  4. Dekarbonisasi industri
  5. Peningkatan akses listrik untuk 3,5 miliar orang

Jumlah negara, wilayah ataupun kota yang menetapkan tujuan untuk menjadi netral karbon telah meningkat sejak September tahun lalu, dari awalnya hanya segelintir menjadi 65.

Uni Eropa, misalnya, targetkan akan netral dari karbon pada tahun 2050. Negara-negara seperti Jerman, Inggris dan Prancis juga telah menetapkan tujuan tanpa emisi (emisi nol).

Tetapi bagaimana mereka mencapai target tersebut, dan seberapa cepat masih belum pasti.

Menurut laporan itu, hanya beberapa dari 65 negara itu yang telah menetapkan batas waktu untuk mencapai emisi nol, dan tidak satu pun dari negara-negara di G20.

Produksi bahan bakar fosil tumbuh secara global

Negara-negara terus berjuang untuk mengendalikan emisi. Mereka bersemangat memotong karbon, namun juga tidak bersedia menghapuskan bahan bakar fosil.

Produksi batubara, gas, dan minyak mentah meningkat dan mencapai level tertinggi pada 2018, yaitu sekitar 37 gigaton.

Beberapa ekonom lingkungan telah menyerukan pengenaan pajak emisi CO2 untuk memberikan insentif bagi perusahaan agar memproduksi energi berkelanjutan.

Sayangnya, pengenalan komprehensif harga CO2 yang dilakukan sejauh ini tidak berhasil.

Salah satu strategi untuk menutup kesenjangan emisi adalah memastikan sumber energi terbarukan dapat menyuplai 85 persen campuran listrik dunia pada tahun 2050.

Baca juga: Demi Kurangi Emisi Karbon, Jepang Perbanyak Penggunaan Energi Nuklir

Perubahan besar masih mungkin terjadi

Di satu sisi, hal ini menjadi sebuah ambisi besar, kata Christensen, Direktur UNEP DTU Partnership. Namun di sisi lain adalah bagaimana menerapkannya secepat mungkin.

"Energi dan transportasi akan menjadi area yang paling penting," ujarnya.

Laporan tersebut menyatakan bahwa teknologi untuk pengurangan emisi dengan cepat dan hemat telah berkembang, seperti energi surya yang saat ini dapat bersaing dengan batubara dalam hal biaya.

"Kita dapat menciptakan perubahan ini tanpa mengorbankan kemakmuran kita," kata Christensen.

"Jika dunia ini melambat dan beradaptasi dengan pemanasan global, maka harus diakui bahwa perubahan mendasar dalam nilai, norma, budaya konsumen dan cara pandang akan dunia menjadi bagian tidak terhindarkan untuk mencapai transformasi yang berkelanjutan," kata laporan itu menyimpulkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com