Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Para Vaper Pamer Foto Rontgen, Dokter Ahli: Saya Apresiasi, Tapi...

Kompas.com - 26/11/2019, 16:03 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

KOMPAS.com – Sejak beberapa bulan lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) mengusulkan pelarangan rokok elektrik (vape) karena tidak memiliki izin edar.

Selain itu, Badan POM juga telah memberikan rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan berupa kebijakan agar masyarakat lebih berhati-hati menggunakan vape.

Namun, hal itu menimbulkan resistensi dari para pengguna vape atau kerap disebut vaper. Baru-baru ini para vaper di Jakarta dan Jawa Timur melakukan protes dengan cara memamerkan foto-foto rontgen paru mereka.

Kesadaran atas kesehatan

Dokter Spesialis Paru, dr Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR, memberikan apresiasi terhadap para vaper yang telah melakukan foto rontgen.

“Saya memberi apresiasi, mereka menunjukkan kesadaran atas pengaruh vape terhadap paru. Rontgen merupakan salah satu deteksi dini untuk mengetahui timbulnya suatu penyakit,” tutur dr Agus kepada Kompas.com, Selasa (26/11/2019).

Namun, dr Agus menekankan, ketika para vaper sudah punya kesadaran tersebut, alangkah baiknya untuk berhenti menggunakan vape.

“Saya apresiasi (mereka rontgen), tapi jika tidak ditemukan sesuatu (pada paru), maka penyakit belum timbul. Suatu saat penyakit itu akan muncul. Butuh waktu yang tidak sebentar bagi rokok konvensional maupun rokok elektrik untuk berpengaruh terhadap kesehatan,” tuturnya.

Baca juga: Penyakit Paru Misterius pada Pengguna Vape, Ini yang Para Ahli Ketahui

dr Agus menjelaskan butuh waktu lebih dari dua atau tiga tahun untuk melihat dampak dari penggunaan rokok elektrik.

Rokok elektrik memiliki komponen yang ada persamaannya dengan rokok konvensional, antara lain nikotin dan karsinogen. Tidak dapat terdeteksi dalam waktu yang sebentar,” lanjutnya.

Ilustrasi vapeMakcouD Ilustrasi vape

Sebagai contoh, tutur dr Agus, rokok konvensional butuh waktu 20 tahun untuk membuat penggunanya terkena kanker paru. Menurutnya, penggunaan rokok konvensional maupun rokok elektrik memiliki dua aspek risiko yakni jangka pendek dan jangka panjang.

“Jangka pendek berupa iritasi, sakit tenggorokan, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bahkan di Amerika terjadi panyakit paru akut. Sementara itu untuk jangka panjang, ya risiko kanker itu, yang baru terlihat usai bertahun-tahun,” tambahnya.

Berhenti merokok elektronik

Soal usulan pelarangan rokok elektrik, dr Agus mengatakan sangat setuju.

“Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) bersama 12 profesi dan lembaga masyarakat lainnya telah mengkritisi rokok elektronik. Terbukti rokok elektronik mengandung bahan berbahaya dan bisa menimbulkan berbagai penyakit. Kami mendukung supaya ada pelarangan di Indonesia,” tuturnya.

Lalu, seberapa besar risiko vaper untuk terkena penyakit?

Baca juga: Semakin Banyak Negara yang Melarang Vape, Apa Alasannya?

dr Agus menyebutkan, risiko tidak terjadi 100 persen. Risiko datangnya penyakit merupakan sebuah probabilitas.

“Menurut data internasional, untuk rokok konvensional, hanya sekitar 60 persen penggunanya yang menderita sakit bervariasi. Artinya ada 40 persen yang tidak sakit,” tuturnya.

Namun dr Agus menekankan bahwa bisa saja Anda masuk dalam orang yang sakit, meski ada kemungkinan Anda termasuk dalam kelompok yang sehat.

“Kita bicara probabilitas, kita bicara risiko. Kita tidak bisa menjamin apakah kita akan sehat atau justru sakit,” tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com