Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak yang Sering Dibohongi, Akan Jadi Pembohong saat Dewasa

Kompas.com - 06/10/2019, 20:03 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

KOMPAS.comWhat goes around, comes around. Mungkin istilah ini yang tepat untuk menggambarkan hal yang umum dilakukan oleh orangtua: berbohong kepada anak.

Di Indonesia, kebohongan pada anak bisa jadi sangat beragam. Mulai dari “jangan nakal, nanti ditangkap polisi” sampai mitos seperti “jangan duduk di pintu, nanti seret jodoh”.

Jika Anda termasuk orangtua yang kerap berbohong seperti itu, saatnya hentikan sekarang. Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang pada masa kecil kerap dibohongi oleh orangtuanya, akan menjadi pembohong pada saat dewasa. Termasuk berbohong kepada orangtuanya sendiri.

Penelitian ini dilakukan oleh Nanyang Technological University Singapore (NTU Singapore) bekerja sama dengan University of Toronto di Kanada, University of California di AS, serta Zhejiang Normal University di China.

Penelitian yang dimuat dalam Journal of Experimental Child Psychology ini dipimpin oleh Assistant Professor of Social Sciences NTU Singapore, Setoh Peipei.

“Kebohongan dalam mendidik anak mayoritas dilakukan karena sulitnya menjelaskan sesuatu hal yang kompleks. Namun, perilaku seperti itu bisa memberikan pesan-pesan tersembunyi kepada anak. Kebohongan yang dilontarkan orangtua bisa jadi melekat pada anak,” tutur Setoh seperti dikutip dari Science Daily, Minggu (6/10/2019).

Baca juga: Hai Orangtua, Perlajari Pedoman Baru WHO untuk Batasan Gadget Bagi Anak Balita

Penelitian ini dilakukan kepada 379 orangtua muda Singapura dengan mengisi empat jenis kuisioner via online.

Kuisioner pertama adalah tentang kebohongan yang dilakukan terkait makanan, pergi atau tinggal, dan mengeluarkan uang. Beberapa contoh kebohongan antara lain “kalau tidak ikut dengan kami (orangtua) sekarang, saya akan meninggalkanmu sendiri” serta “kami sedang tidak membawa uang, kita kembali lagi lain waktu”.

Kuisioner kedua adalah mengenai seberapa sering orangtua berbohong kepada anak mereka. Sementara dua kuisioner lainnya adalah kondisi psikologis dan sosial masing-masing orangtua.

Ilustrasi anak makan permen. Ilustrasi anak makan permen.

Suka Berbohong, Agresif, dan Egois

Analisis para peneliti terhadap semua jawaban responden adalah bahwa anak-anak yang kerap dibohongi memiliki risiko yang lebih besar untuk menjadi “orang yang kurang diharapkan oleh masyarakat”. Seperti agresif, suka berbohong, egois, dan pembangkang.

Analisis selanjutnya, jenis kebohongan yang dikatakan orangtua sangat berpegaruh terhadap sifat dan sikap anak-anak di masa depan. Orangtua yang kerap berbohong seperti “kalau tidak mau nurut, aku akan lempar kamu ke laut” berisiko tinggi membuat anak memiliki kesulitan pemahaman di masa mendatang.

Hal ini berbeda dengan kebohongan yang biasa saja atau umum, seperti “permennya sudah habis”.

Baca juga: Kenapa Beberapa Orang Tidak Bisa Berhenti Berbohong?

Para peneliti studi ini sepakat bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut tentang sebab orangtua mengatakan kebohongan.

“Termasuk kebohongan seperti apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dilakukan oleh orangtua agar bisa mengatakan kebenaran,” tutur Setoh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com