Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penemuan yang Mengubah Dunia: Batik, Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit

Kompas.com - 02/10/2019, 16:06 WIB
Sri Anindiati Nursastri

Penulis

KOMPAS.com – Hari Batik Nasional yang jatuh pada hari ini mengingatkan kita terhadap salah satu kekayaan Indonesia yang diakui dunia. Tepat hari ini pada 2009, kain batik menjadi Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of Oral and the Intangible Heritage of Humanity) yang diakui UNESCO.

Situs UNESCO menyebutkan bahwa di Indonesia, batik digunakan sedari lahir sampai momen kematian. Bayi digendong menggunakan kain batik. Ketika kita meninggal, kain batik pula yang menutupi jenazah kita.

Kain batik digunakan sebagai seragam PNS dan acara-acara penting. Kain ini juga digunakan dalam selebrasi seperti pernikahan dan ritual kehamilan. Motifnya berbeda untuk setiap daerah, terakulturasi dari beberapa wilayah dunia yang membawa pengaruhnya.

Arkeolog Belanda, JLA Brandes, menyatakan bahwa motif batik merupakan salah satu dari 10 kebudayaan asli Indonesia.

Pengaruh Arab misalnya, terlihat lewat seni kaligrafi. Pengaruh Eropa terlihat lewat motif bunga. Pengaruh China terlihat lewat motif Phoenix (burung api). Pengaruh India dan Persia terlihat lewat motif burung merak.

Sejak 2.000 Tahun Lalu

Buku berjudul “Batik Transitions: From Classic to Contemporary” (2006) keluaran The Batik Guild menyebutkan bahwa cikal bakal batik telah ada sejak 2.000 tahun lalu. Beberapa wilayah dunia yang disinyalir menjadi “akar” dari kain ini adalah Timur Jauh, Timur Tengah, Asia Tengah, dan India. Kain tersebut kemudian terdistribusi ke berbagai wilayah dunia lewat perdagangan.

Sebelum masuk Nusantara, kain bermotif masuk dari Timur Tengah, melewati Asia Tengah kemudian masuk Kepulauan Malay. Kain bermotif sempat mengakar di China pada masa Dinasti Sui (581-618 Masehi).

Kain bermotif dari sutra sempat ditemukan di Nara, Jepang, sekitar 710-794 Masehi. Kain tersebut bergambar pohon, hewan, pemain flute, aktivitas berburu, dan pegunungan.

Contoh cap untuk membuat batik yang terdiri dari papan tripleks dan bahan-bahan limbah seperti sumpit, kertas koran, atau karung goni.Kompas.com/Lusia Kus Anna Contoh cap untuk membuat batik yang terdiri dari papan tripleks dan bahan-bahan limbah seperti sumpit, kertas koran, atau karung goni.

Pada 1677, terdapat bukti perdagangan kain sutra bermotif dari China ke Jawa, Sumatera, Persia, dan Hindustan. Pada masa Dinasti Tang, ubungan yang intens antara kerajaan-kerajaan di Jawa dengan China turut memperkenalkan motif batik yang ada pada keramik.

Pada waktu yang sama, di Nigeria Selatan dan Senegal, Suku Yoruba membuat motif kain dengan pasta singkong dan nasi yang juga mencerminkan proses pembuatan batik.

Semenjak masuk Nusantara terutama Jawa, kain bermotif ini mencapai puncak kejayaannya. Pada 1835, orang Belanda membawa para pengrajin batik ke negara asal mereka, dan mempekerjakan para pengrajin tersebut di pabrik. Hal itu berlanjut sampai awal 1900-an, saat batik sempat diproduksi secara massal di Jerman.

Pada awal 1940-an, kain batik dibuat secara massal di Swiss. Pada saat yang bersamaan, teknik cetak (printing) dikembangkan di Jawa.

Sejak Masa Majapahit

Di Nusantara, batik dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit dan berkembang ke kerajaan-kerajaan lain. Antara lain Kesultanan Mataram, Kasunanan Surakarta, dan Kesultanan Yogyakarta. Di abad ke-18 sampai 19, batik berkembang secara masif di Pulau Jawa.

Batik yang dikenal pada masa itu merupakan batik tulis, menggunakan tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri sebagai pewarna. Antara lain pohon mengkudu, tinggi, saga, dan nila. Proses pembuatannya sama dengan pembuatan batik tulis tradisional, yakni menggunakan canting sebagai mediumnya.

Pada masa Kesultanan Mataram, batik sempat menyandang eksklusivitas untuk keluarga kerajaan. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam wilayah Keraton, hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya.

Oleh karena banyak pengikut raja yang tinggal di luar Keraton, lama-kelamaan kesenian batik dibawa keluar Keraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing.

Pengaruh Kebudayaan Peranakan pada Corak Hias Batik Pesisiran Pengaruh Kebudayaan Peranakan pada Corak Hias Batik Pesisiran

Lama-lama, kesenian batik ditiru oleh masyarakat di sekitar mereka. Batik menjadi pekerjaan kaum wanita untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang awalnya hanya merupakan pakaian keluarga Keraton mulai dipakai masyarakat.

Batik pada masa Kerajaan Majapahit bisa ditemukan di Mojokerto dan Tulungagung. Selain itu, pada masa penyebaran Islam, batik kuat mengakar di wilayah Ponorogo. Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah Perang Dunia I yang dibawa oleh seorang China bernama Kwee Seng.

Ada pula batik pesisir yang bermotif peranakan, merupakan akulturasi dengan budaya China.
“Mereka (kebudayaan peranakan) kan datang bersama Laksamana Cheng Ho ke Indonesia. Nah, pelabuhannya mereka ini besar sekali, dari Semarang sampai Tuban, jadi adanya hanya di pesisiran,” tutur Notty J Mahdi dari Forum Kajian Antropologi Indonesia.

Kini, hampir tiap daerah di Indonesia memiliki motif batik. Papua misalnya, punya batik bermotif tifa (gendang) dan burung cendrawasih. DKI Jakarta bahkan memiliki batik bermotif ondel-ondel dan Monumen Nasional. Berkembangnya medium dan model batik menjadikan kain motif asli Nusantara ini tetap menjadi favorit seiring bergantinya zaman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau