Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Alasan Ilmiah Kenapa Kita Suka Ikut-ikutan Pilihan Orang Lain

Kompas.com - 26/09/2019, 07:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Kelly L. Haws, Brent McFerran dan Peggy Liu


BAYANGKAN kita sedang pergi makan malam di restoran bersama teman-teman. Setelah melihat-lihat menu, kita memutuskan untuk memesan steik. Namun kemudian, setelah salah satu teman kita memesan salad sebagai makanan utama, kita mengatakan: “Saya pesan salad juga.”

Situasi seperti ini – memilih sesuatu yang tidak akan kita pilih ketika sendirian – mungkin lebih sering terjadi daripada yang kita bayangkan dalam berbagai kondisi yang beragam, dari makan bersama di luar, belanja, hingga menyumbang untuk amal. Dan ini bukan karena kita secara tiba-tiba menyadari bahwa salad kelihatannya lebih enak.

Penelitian sebelumnya telah menunjukkan manusia punya kecenderungan untuk meniru pilihan dan perilaku orang lain. Namun penelitian lain juga menunjukkan bahwa manusia ingin melakukan kebalikannya untuk menandakan keunikan dalam sebuah kelompok dengan membuat pilihan yang beda dari yang lain.

Sebagai akademisi yang meneliti perilaku konsumen, kami ingin menyelesaikan perbedaan ini: Apa yang membuat seseorang cenderung meniru perilaku orang lain, dan apa yang membuat seseorang membuat pilihan berbeda?

Sinyal sosial

Kami mengembangkan teori bahwa bagaimana dan mengapa seseorang meniru pilihan orang lain banyak bergantung pada atribut yang ada pada pilihan yang diambil.

Pilihan memiliki sesuatu yang disebut atribut “ordinal”, yang bisa diurutkan secara objektif (seperti ukuran dan harga) dan ada juga atribut “nominal” yang tidak mudah untuk diurutkan (seperti rasa dan bentuk).

Kami menduga bahwa atribut ordinal memiliki lebih banyak pengaruh sosial dan dianggap sebagai tanda kepantasan dalam suatu konteks tertentu.

Di sisi lain, atribut nominal tampaknya dipahami sebagai cerminan pilihan pribadi seseorang

Kami melakukan 11 penelitian untuk menguji teori kami.

Satu atau dua sendok

Dalam satu penelitian yang dilakukan bersama 190 mahasiswa S1, kami memberitahu partisipan bahwa mereka sedang dalam perjalanan untuk membeli es krim bersama seorang teman.

Kami kemudian memberitahu para calon pembeli es krim ini bahwa teman mereka memilih antara satu sendokan es krim vanila, satu sendokan es krim coklat, dua sendokan es krim vanila, atau dua sendokan es krim coklat. Kemudian kami menanyakan partisipan apa yang mau mereka pesan.

Kami menemukan bahwa orang-orang cenderung memesan ukuran yang sama dengan temannya, namun rasa yang berbeda.

Para partisipan terlihat mengartikan jumlah sendokan es krim pesanan temannya sebagai indikasi dari apa yang dianggap pantas.

Contohnya, memesan dua sendokan mungkin menandakan “upaya” untuk memuaskan diri atau pilihan yang cerdas dalam keuangan karena harganya yang lebih menguntungkan. Atau satu sendokan es krim menandakan “ayo nikmati es krim – tapi jangan terlalu banyak.”

Pemilihan coklat atau vanila, di sisi lain, segera dipahami sebagai preferensi pribadi dan tidak menandakan mana yang lebih baik atau pantas. Saya suka vanila, Anda suka coklat – semua senang.

Kami juga bertanya pada partisipan untuk menilai seberapa penting menghindari ketidaknyamanan sosial dalam pilihan mereka. Mereka yang memesan jumlah sendokan yang sama dengan temannya menilai hal tersebut lebih penting ketimbang mereka yang memesan dengan jumlah berbeda.

Meneliti konteks lain

Dalam beberapa penelitian lain, kami mendapat hasil yang serupa menggunakan produk berbeda, dalam berbagai kondisi dan macam-macam atribut ordinal dan nominal.

Sebagai contoh, dalam penelitian lain, kami memberi partisipan 1 dolar AS atau sekitar Rp 14.000 untuk membeli satu dari empat batang granola dari toko tiruan yang kami buat di dalam Pusat Penelitian Bisnis Katz/CBA Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat

Sebagai atribut ordinal, kami menggunakan gengsi merek: Mereka dapat memilih granola dengan merek yang terkenal dan harganya lebih mahal, atau yang lebih murah dan bermerek nama toko itu sendiri. Dan atribut nominal kami adalah rasa coklat dan selai kacang.

Sebelum membuat pilihan, seorang “pegawai toko” yang ditempatkan di belakang kasir memberitahu partisipan telah mencoba satu granola tanpa berkata apa-apa tentang bagaimana rasanya. Kami mengubah granola mana yang akan disebut pegawai toko ini setiap jamnya dalam lima hari.

Mirip dengan kasus es krim, partisipan cenderung memilih granola dari merek yang dikatakan oleh pegawai–baik itu yang lebih murah atau yang lebih mahal–namun mengabaikan rasanya.

Beranjak dari makanan, kami juga meneliti pengaruh dalam sumbangan amal. Dalam penelitian ini, kami merekrut partisipan daring yang kami bayar. Selain itu, kami memberi setiap peserta 50 sen untuk disimpan atau disumbangkan untuk amal.

Jika mereka memilih untuk menyumbangkan uangnya, mereka dapat memberi semua atau sebagian kepada badan amal yang berfokus menyelamatkan baik gajah ataupun beruang kutub. Sebelum mereka membuat pilihan, kami memberi tahu mereka apa yang partisipan lakukan dengan uang mereka–secara acak berdasarkan empat kemungkinan yang terjadi.

Hasilnya sama dengan seluruh kasus sebelumnya, termasuk yang kami lakukan dengan melibatkan berbagai merek dan bentuk pasta, serta berbagai jenis dan rasa anggur. Orang-orang meniru atribut ordinal–dalam kasus ini, jumlah uang–namun memberi sedikit perhatian pada atribut nominal–badan amal yang dipilih–yang tetap menjadi preferensi pribadi.

Sinyal-sinyal sosial mengenai pilihan orang lain semacam ini ada di mana-mana, dari interaksi tatap muka, hingga kicauan di Twitter atau unggahan di Instagram. Sehingga, sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh orang lain ketika kita memilih barang-barang konsumsi bagi diri sendiri.

Dan jika kita yakin kita membuat teman kita merasa lebih nyaman sambil memilih sesuatu yang kita sukai, apa salahnya?

Kelly L. Haws
Associate Professor of Marketing, Vanderbilt University

Brent McFerran
W. J. Van Duse Associate Professor, Marketing, Simon Fraser University

Peggy Liu
Assistant Professor of Business Administration, University of Pittsburgh

Artikel ini ditayangkan atas kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambilkan dari artikel berjudul "Bagaimana dan mengapa kita meniru pilihan orang lain?".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com