Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/09/2019, 12:08 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan kusta atau lepra menjadi dua tipe yaitu pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB).

Tipe PB disebut juga dengan kusta kering karena membuat kulit penderita yang menunjukkan gejala kusta kering dan bersisik, akibat tidak berkeringat. Pada jenis kusta ini, jumlah bakteri Mycobacterium leprae pada kulit juga sangat sedikit atau bahkan tidak ditemukan sehingga dianggap tidak menular.

Sebaliknya, tipe MB merupakan kusta basah, karena bentuk kelainan kulit tampak merah mengkilat seperti basah. Pada jenis ini, terdapat banyak bakteri Mycobacterium leprae pada kulit sehingga sangat mudah menular.

Selain pembagian dua tipe kusta tersebut, terdapat juga pembagian lain yang membagi kusta menjadi lima tipe yang dijelaskan oleh Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia, Dr. dr. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K), saat ditemui Kompas.com di ruang kerjanya di RSCM, Selasa (3/9/2019).

Baca juga: Ada Kusta di Antara Kita...

Kusta tipe tuberkoloid (PB)

Biasanya ditandai dengan bercak hipopigmentasi pada kulit dan kelainan tersebut mati rasa (anestesi). Pada tipe yang ini, bakteri yang ada hanya sedikit bahkan tidak terdeteksi karena sudah kalah dengan daya tahan tubuh yang bagus.

Kelainan kulit pada kusta tipe tuberkuloid ini hampir mirip atau menyerupai gejala penyakit lain, seperti panu, biduran, eksim ataupun vitiligo, yang bahkan tidak terasa gatal maupun sakit.

"Kalau tuberkuloid ini sebenarnya bakterinya itu sendiri sudah bisa dimusnahkan oleh daya tahan tubuh yang bagus, tetapi kelainan masih tetap bisa muncul, karena bakteri itu utamanya di saraf," ujar dr. Dini.

Pada tipe tuberkuloid, bakteri menyerang saraf tepi sehingga akan terjadi kelainan seperti mati rasa pada kulit. Waktu pengobatan untuk tipe ini biasanya berlangsung sekitar enam bulan.

Baca juga: Indonesia Negara Penderita Kusta Terbanyak Ketiga di Dunia

Kusta tipe lepromatosa (MB)

Kusta tipe lepromatosa ini adalah yang paling berat karena mengandung banyak bakteri. Pada tipe ini, kelainan kulit lebih luas.

Kelainan kulit simetris bentuk berupa bercak menebal atau benjolan hampir di seluruh tubuh. Kadang didapatkan pembengkakan selaput lender hidung yang menyebabkan penyumbatan, dapat disertai mimisan (epistaksis). Pada tipe ini seringkali gangguan saraf terlambat terdeteksi.

Dikatakan dr. Dini, bakteri pada kusta lepromatosa ini berjumlah banyak dan jumlah kelainan kulit lebih banyak. Lalu, butuh waktu lama, sekitar 12 bulan bahkan lebih, untuk mengobatinya.

Pengobatan yang lama tersebut karena bakteri yang menyebabkan kusta atau Mycobacterium leprae butuh waktu lama untuk membelah dirinya yaitu antara 2-3 minggu.

"Jadi, waktu diberikan obat itu, bakterinya bisa saja mati hingga 90 persen, namun 10 persen sisanya itu tidur. Nah kalau bakterinya tidur, obat itu tidak bisa berfungsi untuk membunuh. Ketika efek obatnya habis di tubuh, pada saat itu bakterinya membelah diri. Itulah yang bikin pengobatannya lama," jelas dr. Dini.

Kusta Campuran (PB dan MB)

Di antara tipe tuberkuloid dengan lepromatosa, terdapat campuran keduanya yaitu borderline tuberkuloid, mid-borderline, dan borderline lepromatosa. Namun, tipe ini hanya digunakan untuk kepentingan penelitian saja. Untuk kepentingan pengobatan, WHO menganjurkan penggunaan pembagian tipe PB dan MB.

Kusta tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid. Penyembuhannya bisa berlangsung selama 9-12 bulan.

Selama wawancara, dr. Dini pun menegaskan bahwa kusta bisa disembuhkan dengan pengobatan yang tepat namun pasien mungkin tidak bisa pulih seutuhnya karena ada cacat yang terjadi akibat kerusakan saraf.

Baca juga: Penyebab dan Penyebaran Kusta yang Perlu Anda Ketahui

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com