Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/09/2019, 07:31 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Untuk terhindar dari penyakit kusta, Anda perlu mengetahui apa penyebab dari penyakit yang dianggap sepele namun bisa fatal bila tidak segera diobati ini.

Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen (Kusta), Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski), Dr. dr. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, SpKK(K), menjelaskan penyebab dan penyebaran kusta kepada Kompas.com ketika ditemui di ruangan kerjanya, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI, RSCM, Jakarta, Selasa (3/9/2019).

Disampaikan oleh dokter yang akrab disapa Dini ini, kusta bisa menular antar manusia melalui udara (pernapasan) ataupun sentuhan, dengan catatan terjadi dalam jangka waktu yang panjang.

Oleh karena itu, tidak perlu khawatir bila Anda hanya bertemu atau bersentuhan dengan penderita kusta untuk waktu yang singkat.

"Kusta memang bisa menular dengan udara pernapasan atau sentuhan langsung yang lama dan erat, tapi perlu digarisbawahi yang lama dan erat itu ya," kata Dini.

Baca juga: Penyembuhan Kusta, Keluarga Penting untuk Dorong Semangat

Penularan membutuhkan waktu lama, rata-rata 3 hingga 5 tahun, bahkan dapat lebih lama. Disebut bahwa narakontak serumah ialah orang yg tinggal serumah dengan penderita.

"Makanya yang sering atau yang berpotensi terjangkit itu adalah mereka yang tinggal serumah biasanya, karena jangka bertemu dan bersentuhannya lebih lama. Tapi ini juga untuk mereka penderita kusta tipe lepromaktosa (kusta level berat), yang bakterinya memang sudah banyak sekali," imbuhnya lagi.

Meski sering menginfeksi satu keluarga, Dini menegaskan bahwa kusta bukanlah penyakit keturunan.

Hendra, penderita penyakit kusta di Kampung Sitanala, Kelurahan Karangsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Selasa (20/8/2019). Ia telah menjalani pengobatan penyakit kusta selama 1,5 tahun di RS dr. Sitanala.KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Hendra, penderita penyakit kusta di Kampung Sitanala, Kelurahan Karangsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, Selasa (20/8/2019). Ia telah menjalani pengobatan penyakit kusta selama 1,5 tahun di RS dr. Sitanala.

Memang pada saat ini, Dini dan tim sedang melakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor genetika yang berpengaruh terhadap penyebaran kusta ini. Namun, faktor genetika yang dimaksudkan lebih pada ras mana seseorang berasal.

"Ya, seperti di Indonesia sendiri kan paling banyak Indonesia bagian Timur yang kena, sementara daerah lain agak jarang. Makanya penelitian faktor genetika atau ras ini digarap," tutur Dini.

Untuk diketahui, kasus kusta lebih jarang atau bahkan sulit ditemukan di daerah Sumatera dan Jawa Barat hingga Jawa Tengah, khususnya Sumatera Barat dan Yogyakarta.

Sementara itu menurut Dini, untuk di beberapa negara, kusta bahkan bisa ditular ke manusia dari hewan, misalnya Armadillo di Amerika dan monyet hijau atau monyet sabaeus atau monyet callithrix yang berada di Afrika.

Baca juga: Kisah Al Qadri yang Sempat Diusir dari Sekolah karena Kusta

Lantas bila sudah terinfeksi, maka faktor lingkungan dan daya tahan tubuh akan berpengaruh besar dalam membuat level ataupun efek kusta meningkat pada tubuh.

Semakin lemah daya tahan tubuh seseorang, semakin mudah bakteri menyerang, termasuk bakteri Mycobacterium leprae ini.

Lingkungan dengan suhu udara yang terlalu dingin ataupun terlalu panas juga akan membuat bakteri tidak aktif berkembang. Oleh sebab itulah, kata Dini, di daerah yang terlalu panas ataupun terlalu dingin jarang ada penduduknya yang mengalami kusta.

"Kecuali biasanya yang terkena kusta itu pendatang, itu bisa saja," tambah Dini.

Sekilas tentang kusta

Kusta merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit dan saraf tepi.

Mycobacterium leprae merupakan sebuah bakteri yang tahan asam. Bakteri ini juga merupakan bakteri aerobik, gram positif, berbentuk batang dan dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium.

Hingga saat ini, bakteri Mycobacterium leprae belum dapat dikultur atau dilakukan pembelahan atau perkembangbiakan di laboratorium.

Pasalnya, waktu perkembanganbiakan bakteri tersebut cukup lama, yakni sekitar 2-3 minggu. Hal ini jelas berbeda dengan bakteri lainnya yang bahkan bisa berkembangbiak atau membelah diri hanya dalam hitungan jam.

"Makanya sampai sekarang susah mau buat analisis yang jelas, juga vaksinnya untuk penyakit ini," ujar Dini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com