Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi dan Wali Kota Minta Maaf, Ini Langkah Awal Positif tapi Belum Cukup

Kompas.com - 20/08/2019, 18:28 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Kerusuhan pecah di Manokwari, Papua, Senin (19/8/2019) dan memicu pembakaran gedung DPRD Papua Barat.

Kerusuhan ini sebagai buntut dari aksi protes massa terhadap dugaan persekusi dan rasisme pada mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya, Jawa Timur.

Menanggapi peristiwa ini, Presiden Joko Widodo, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Malang Sutiaji, dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa segera menyampaikan permintaan maaf kepada warga Papua.

Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. PM Laksono, M.A, apa yang dilakukan oleh Jokowi, Risma, Sutiaji, dan Khofifah merupakan langkah awal besar yang tepat dan perlu diapresiasi.

"Ini langkah awal yang sangat baik dan positif. Namun, itu belum selesai dan pekerjaan rumah masih besar sekali," ujar Laksono ditemui di kantor Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Selasa (20/8/2019).

Baca juga: Konflik Papua adalah Rasisme dan Tanda Adanya Krisis Akulturasi Serius

Laksono menilai, minta maaf adalah langkah awal yang harus dilakukan.

Pasalnya, tanpa hal ini proses lain untuk menyelesaikan PR negara akan sulit untuk dilakukan.

Pekerjaan rumah yang dimaksud Laksono adalah menindaklanjuti perilaku rasisme di Indonesia.

Tidak menutup mata, rasisme di Indonesia muncul di lapangan pekerjaan, dunia pendidikan, tempat tinggal mahasiswa dari Indonesia bagian timur.

"Mahasiswa Indonesia timur sangat sulit mencari kost-kostan. Bukan hanya Papua saja, tapi semua mahasiswa dari timur Indonesia," ujar Laksono.

Dari pengamatan Laksono selama menjadi pengajar puluhan tahun di UGM, mencari tempat tinggal untuk mahasiswa timur sangat sulit, khususnya di Yogyakarta.

Dari hal-hal kecil yang kerap tidak dipandang inilah, sikap rasisme muncul dan sangat mungkin menimbulkan gesekan.

"Apa yang bisa dilakukan oleh negara? Kita tidak punya asrama bhineka. Seharusnya, semua kampus memiliki asrama (bhineka) untuk mempertemukan dan menampung mahasiswa dari berbagai latar belakang dan budaya," ujar Laksono.

Menurut Laksono, asrama bhineka adalah salah satu upaya nyata untuk membangun kebhinekaan Indonesia dan menekan rasisme di negara dengan ratusan suku bangsa ini.

Baca juga: Kami Bukan Monyet, Ahli Jelaskan Alasan Panggilan Hewan Itu Menghina

"Tidak ada lagi asrama putra daerah. Paling tidak, kalau untuk perguruan tinggi tahun pertama mahasiswa ada di asrama yang bhineka agar bisa saling berkenalan dengan berbagai macam orang yang berbeda dan membuat visi membangun Indonesia," imbuh dia.

Di lingkungan terbatas ini, orang juga dapat belajar untuk menyelesaikan konflik dan berdamai.

"Hidup berbangsa lebih penting dibanding rektor Internasional, dibanding prestasi akademik. Sebab, inilah yang akan membangun Indonesia di masa depan untuk mencerdaskan hidup bangsa," tegas Laksono.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com