Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Sains, Kita Semua Berbakat Menjadi Prada DP

Kompas.com - 19/08/2019, 20:00 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis


KOMPAS.com – Pembunuhan sadis dan mutilasi yang dilakukan oleh Prada DP terhadap pacarnya, Fera Oktaria, mengejutkan masyarakat Indonesia. Banyak yang bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa melakukan hal yang tidak manusiawi seperti itu.

Namun menurut sebagian ahli, apa yang dilakukan oleh Prada DP adalah sesuatu yang wajar. Malah kita semua bisa jadi memiliki bakat untuk melakukan tindakan-tindakan mengerikan sepertinya.

Dilansir dari Quartz, 4 Agustus 2018; mayoritas manusia pernah berpikir untuk membunuh orang lain.

Hal ini diungkapkan oleh David Buss, seorang profesor psikologi di University of Texas-Austin yang mensurvei 5.000 orang untuk bukunya The Murderer Next Door: Why the Mind is Designed to Kill.

Dari 5.000 partisipan, 91 persen pria dan 84 persen wanita pernah berpikir untuk membunuh seseorang. Tidak sedikit juga yang bahkan telah melengkapi imajinasi mengerikannya dengan korban dan metode yang spesifik.

Baca juga: Menalar Otak Pembunuh dari Kasus Bocah 8 Tahun Tewas di Bak Mandi

Tertulis dalam sejarah manusia

Perilaku agresif pada manusia ini juga ditemukan oleh para peneliti Spanyol yang kemudian memublikasikannya dalam jurnal Nature. Para peneliti dari empat institusi di Spanyol menemukan bahwa manusia memang lebih cenderung membunuh sesamanya dibandingkan mamalia lain.

Mereka menemukan hal ini setelah memeriksa pohon evolusi mamalia yang terdiri dari 1.020 spesies, termasuk 600 populasi manusia sejak zaman batu. Berdasarkan bukti-bukti sisa fosil yang ditemukan, para peneliti mencoba untuk melihat proporsi kematian akibat kekerasan antar sesama spesies.

Hasilnya, kekerasan yang mematikan lebih sering terjadi di antara primata dibandingkan mamalia lainnya, khususnya spesies-spesies yang menunjukkan perilaku sosial dan teritorial.

Di antara semua spesies nenek moyang mamalia, sekitar 1 di antara 300 kematian disebabkan oleh kekerasan antar anggota spesies yang sama. Namun di antara kera besar, proporsi ini meningkat menjadi 1,8 persen; dan meningkat lagi menjadi dua persen di antara manusia-manusia prasejarah.

Baca juga: Benarkah Pembunuh Itu Orang yang Otaknya Rusak?

Namun, proporsi untuk manusia kerap mengalami fluktuasi. Pada zaman besi dan era pascaklasik, misalnya, proporsi kematian akibat kekerasan antar manusia turun hingga di bawah dua persen.

Melihat hal ini, penulis pertama studi dari Estación Experimental de Zonas Áridas (EEZA), José María Gómez, berkata bahwa meskipun kekerasan mematikan merupakan bagian dari sejarah evolusioner manusia, tetapi hal ini tidak tertanam dalam gen kita.

Kemampuan manusia untuk mengatur dirinya dalam kehidupan bermasyarakat bisa memengaruhi tingkat kekerasan antar manusia, ujarnya.

Refleks yang agresif

Sedikit berbeda dari Gómez; Douglas Fields, seorang pakar neurosains dan penulis buku Why We Snap, berpendapat bahwa secara biologis, kita memang cenderung bereaksi dengan kekerasan ketika dihadapkan dengan situasi tertentu.

Pasalnya, otak kita, menurut Fields, memiliki kemampuan untuk memonitor bahaya dan memunculkan agresi sebagai mekanisme perlindungan diri.

Dia mengatakan, kita semua punya kapasitas untuk kekerasan karena dalam situasi tertentu, itu memang dibutuhkan untuk keselamatan kita.

Akan tetapi, pada beberapa individu, mekanisme ini bisa jadi terlalu sensitif. Khususnya ketika menghadapi tantangan-tantangan di masa modern yang belum pernah dialami otak manusia-manusia pendahulu, mekanisme perlindungan diri pada otak ini bisa mengalami kesalahan.

Baca juga: Familicide, Ahli Jelaskan Mengapa Ada Ayah yang Tega Bunuh Keluarganya

Fields berkata bahwa contoh-contohnya sering kita lihat di dunia nyata. Misalnya, ketika seseorang tiba-tiba marah besar karena terjebak kemacetan atau melawan hinaan verbal yang tidak seberapa dengan agresi fisik yang berlebihan.

Untungnya, kita tidak sepenuhnya dikontrol oleh refleks agresif ini. Fields berkata bahwa menyadari bagaimana otak kita bekerja bisa membantu mengontrol respons kita terhadap ancaman yang dirasakan.

Terutama bagi remaja yang korteks prefrontal atau bagian otak yang membatasi dan mengontrol mekanisme pendeteksian ancamannya belum tumbuh sempurna; memahami bahwa emosi yang menjadi-jadi bisa disebabkan oleh kesalahan pada otak, dapat membantu mereka mengontrolnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com