KOMPAS.com - Jika Anda punya kebiasaan untuk mengonsumsi minuman yang dikemas dari botol plastik mapun kaleng, mungkin kini perlu mengubah kebiasaan itu.
Sebuah studi menyebutkan, bahan kimia yang terkandung dalam botol plastik dan kaleng bisa memicu hipertensi.
Bagaimana bisa?
Dilansir dari situs Hello Sehat, studi menunjukkan, bahan kimia yang terkandung pada botol plastik maupun kaleng dapat meresap ke dalam minuman dan meningkatkan tekanan darah hanya dalam beberapa jam.
Sebuah penelitian dari Seoul National University College of Medicine di Korea Selatan menyebutkan, selain dapat memicu hipertensi, kandungan bahan kimia yang terdapat dalam botol plastik dan kaleng juga dapat memicu penyakit jantung, kanker, dan masalah kesehatan lainnya.
Adapun bahan kimia tersebut adalah bisphenol A atau BPA.
Studi tersebut juga menjelaskan, ketika seseorang meminum susu kedelai dari kaleng, kadar BPA dalam urine orang tersebut meningkat secara drastis dalam waktu dua jam.
Akibatnya, tekanan darah orang tersebut juga ikut meningkat.
Akan tetapi, jika seseorang mengonsumsi minuman yang sama dari botol kaca yang tidak terkontaminasi BPA, maka tidak akan ada perubahan tekanan darah maupun kadar BPA.
Studi ini juga menjelaskan bahwa seseorang yang hanya sesekali mengonsumsi minuman dari botol plastik dan kaleng, tidak terlalu berbahaya.
Jika dilakukan setiap hari, maka dampaknya akan berbahaya bagi kesehatan orang tersebut dan lebih berisiko terkena hipertensi.
Penelitian ini juga melibatkan sebanyak 60 orang lansia dengan sebagian besar adalah perempuan yang tidak memiliki riwayat hipertensi atau tekanan darah tingi.
Mereka semua diminta untuk minum susu kedelai dari kaleng atau botol kaca selama tiga kali seminggu.
Susu kedelai dipilih karena diketahui tidak mempunyai sifat yang bisa meningkatkan tekanan darah.
Hal ini berbeda dengan soda, jus buah, dan minuman asam lainnya yang mempunyai sifat mampu menyerap BPA dari wadah plastik.
Oleh karena itu, susu kedelai dianggap cukup netral.
Hasilnya, dalam dua jam, kadar BPA pada urine mereka yang minum dari botol kaca relatif rendah.
Sementara, urine pada orang yang minum dari kaleng, tingkat BPA-nya naik hingga 16 kali lebih tinggi.
BPA sendiri sudah digunakan sejak tahun 1960-an yang berguna untuk membuat produk-produk yang digunakan sehari-hari.
Produk tersebut antara lain botol plastik, wadah makanan, lensa kontak, cangkir, hingga botol bayi.
Beberapa botol dan produk makanan kemasan sering mengklaim bahwa produknya sudah "bebas BPA".
Dan label tersebut sering ditemukan pada botol ataupun wadah makanan.
Kendati sudah di labeli "bebas BPA", produk-produk tersebut sebenarnya masih mengandung bahan kimia alternatif yang serupa dengan BPA, contohnya adalah bisphenol S.
Pada 2012, Foods and Drugs Adminstration di Amerika Serikat (setara dengan Badan POM di Indonesia) menyatakan, BPA tidak bisa lagi digunakan dalam botol bayi dan wadah makanan untuk anak-anak.
Sementara itu, pada 2010, Pemerintah Kanada secara resmi telah menetapkan bahwa BPA adalah zat beracun dan pemakaiannya dilarang untuk semua produk anak-anak.
Dilansir dari Live Science, kekhawatiran atas bisphenol A (BPA), bahan kimia yang biasa ditemukan dalam plastik, telah menyebabkan lonjakan produk bebas BPA.
Akan tetapi, sebuah studi baru menunjukkan bahwa bahan kimia yang menggantikan BPA mungkin juga memprihatinkan.
Menurut studi ini, di antara anak-anak AS, paparan dua bahan kimia umum yang digunakan sebagai pengganti BPA - disebut bisphenol S (BPS) dan bisphenol F (BPF) - dikaitkan dengan peningkatan risiko obesitas.
BPS dan BPF memiliki struktur yang mirip dengan BPA dan dapat ditemukan di beberapa jenis plastik, barang-barang kaleng dan produk lainnya.
Studi yang dipublikasikan dalam Journal of the Endocrine Society, menambah bukti yang menghubungkan bahan kimia bisphenol dengan obesitas dan kenaikan berat badan.
Pada 2012, kelompok peneliti yang sama menemukan hubungan antara BPA dan obesitas.
Hal tersebut juga dibenarkan oleh hasil penelitian dalam jurnal Environmental Health Perspectives.
Dari penelitian itu, para peneliti menemukan bahwa produk plastik yang dilabeli "bebas BPA" masih dapat menyerap bahan kimia lain dengan aktivitas estrogenik, bahkan beberapa di antaranya lebih berbahaya dari BPA.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.