Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Impor Rektor Asing, Jalan Pintas Salah Arah untuk Naikkan Mutu Universitas

Kompas.com - 08/08/2019, 18:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Anindito Aditomo


MENTERI Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir baru-baru ini melontar wacana pentingnya mengimpor rektor dari luar negeri untuk mendongkrak mutu universitas di Indonesia.

Targetnya ambisius: rektor asing diharapkan bisa menaikkan peringkat universitas negeri masuk jajaran 100 besar universitas terbaik di dunia secara bertahap. Kini data QS World University Ranking menempatkan Universitas Indonesia (UI) pada posisike-292 dan Institut Teknologi Bandung (ITB) rangking ke-359.

Tampaknya strategi “impor-imporan” ini menjadi resep utama Kementerian Riset untuk mendongkrak mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Tahun lalu, Kementerian Riset juga berencana mengimpor sekitar 200 dosen untuk tujuan serupa.

Apakah strategi ini akan mampu meningkatkan mutu universitas kita? Sebenarnya, tanpa ada perubahan mendasar dalam kebijakan pengelolaan sumber daya akademis dan dana riset, akan sulit mendongkrak kualitas pendidikan tinggi di negeri ini.

Impor rektor di Singapura

Menteri Nasir merujuk kasus Singapura sebagai contoh sukses penerapan strategi impor rektor asing. Mari cermati kasus Singapura secara lebih detil.

Di negara tetangga itu ada 34 universitas, termasuk dua yang kini diakui masuk daftar terbaik di dunia: Nanyang Technological University (NTU) dan National University Singapore (NUS).

Pada 2006, Singapura merekrut Profesor Bertil Andersson dari Swedia sebagai penasehat pemerintah di bidang riset. Setahun kemudian, ia diminta memimpin transformasi NTU dengan menjadi provost (semacam wakil rektor bidang akademik) dan kemudian Presiden (Rektor) NTU dari 2011 sampai 2017.

Andersson adalah peneliti kawakan bidang biologi molekuler dan biokimia asal Swedia yang sebelumnya menjabat Presiden Yayasan Sains Eropa (European Science Foundation).

Salah satu hal pertama yang dilakukan Andersson di NTU adalah memecat sebagian staf akademik (dosen) yang kurang berkualitas dan mengganti mereka dengan profesor dan peneliti-peneliti muda berbakat dari berbagai universitas top dunia.

Dengan kata lain, alih-alih berusaha mengubah orang-orang lama tersebut menjadi peneliti kelas dunia, Andersson lebih memilih mendatangkan talenta akademik dari luar negeri. (Saya tidak menemukan angka persis dosen yang dipecat, tapi Andersson mengatakan bahwa jumlahnya signifikan.)

Dengan kata lain, di bawah kepemimpinan Andersson, NTU menerapkan strategi impor dosen.

Strategi impor dosen berkualitas ini juga ditempuh oleh NUS sejak awal 2000. Menurut mantan presiden universitas ini, Tan Chorh Chuan, merekrut akademisi-akademisi terbaik dari seluruh dunia adalah salah satu pilar kesuksesan NUS.

Kini NTU dan NUS secara rutin menempati posisi papan atas dalam berbagai pemeringkatan universitas terbaik dunia. Data terbaru QS World University Ranking, misalnya, menempatkan NUS dan NTU pada peringkat ke-11 dan 12 secara global, dan rangking pertama dan kedua di Asia.

Menilik kasus Singapura, memang ada preseden bagi keberhasilan strategi impor dosen dan rektor ini. Sepintas, apa yang diterapkan di NTU dan NUS tampak sejalan dengan, dan karena itu mendukung, rencana yang digagas Kementerian Riset. Namun, ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa strategi itu terlalu menyederhanakan masalah kompleks di Indonesia.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com