Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Impor Rektor Asing, Jalan Pintas Salah Arah untuk Naikkan Mutu Universitas

Kompas.com - 08/08/2019, 18:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tiga alasan untuk skeptis

Pertama, impor dosen dan rektor di Singapura adalah buah dari reformasi pendidikan tinggi yang lebih mendasar. Salah satu aspek reformasi ini adalah perubahan status hukum NTU dan NUS pada 2006, yang menjadikan kedua institusi tersebut badan otonom yang bebas mengelola urusan internalnya (meski masih mendapat pendanaan negara).

Di NTU, otonomi itu yang memungkinkan Andersson memecat banyak staf akademik yang dianggap kurang berpotensi sebagai peneliti andal. Di NUS, otonomi tersebut dimanfaatkan untuk mengubah aturan kepegawaian sektor publik yang kaku dan berbasis senioritas, menjadi sistem penghargaan yang berbasis kinerja.

Hal ini berbeda dengan kondisi di Indonesia.

Meski beberapa universitas negeri di Indonesia sudah beroperasi secara relatif otonomi, manajemen sumber daya manusia masih terikat oleh regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Misalnya, untuk menentukan jam kerja dan syarat kenaikan jabatan akademik pun universitas di Indonesia tidak bisa. Apalagi untuk memecat banyak dosen tetap yang dianggap memiliki kinerja riset buruk seperti dilakukan oleh NTU.

Kedua, mengapa para profesor dan peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Stanford,, California Institute of Technology (Caltech) (ketiganya di Amerika Serikat), Imperial College London (Inggris) dan Utrecht University (Belanda) mau pindah ke Singapura?

Kebanyakan talenta akademik yang pindah ke sana adalah orang-orang yang punya renjana (passion) yang kuat akan pengetahuan. Mereka ingin bisa meneliti, dan meneliti dengan sebaik-baiknya. Faktor penting yang bisa menarik minat orang-orang seperti itu adalah dukungan dana dan fasilitas untuk mengembangkan ide riset.

Sebagai contoh, untuk menarik doktor-doktor muda berkualitas, NTU memiliki skema pendanaan untuk peneliti pemula bernama Presidential Postdoctoral Fellowship yang menawarkan bukan saja gaji tinggi, tapi juga dana SGD$100 ribu (sekitar Rp 1 miliar) per tahun untuk riset.

Skema Presidential Young Professorship yang ditawarkan NUS lebih “gila” lagi: di luar gaji, pemenangnya akan diberi hibah SGD$750 ribu untuk membentuk grup dan proyek risetnya sendiri. Dengan demikian, begitu diterima, para peneliti pasca-doktoral dalam skema-skema tersebut bisa “tancap gas” untuk berkarya, tanpa dipusingkan urusan dana penelitian.

Skema-skema tersebut mencerminkan besarnya dana riset di Singapura.

Secara nasional, alokasi anggaran riset dan pengembangan Singapura berada di atas 2% dari Produk Domestik Bruto (GDP). Bandingkan dengan Indonesia yang hanya mengalokasikan 0,085% dari GDP untuk riset.

Tapi persoalan riset di Indonesia bukan sekadar soal jumlah dana yang relatif kecil. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis dan beberapa kolega, mekanisme pengelolaan hibah riset Kementerian Riset juga perlu perombakan mendasar.

Misalnya, pencairan dana tak jarang terlambat beberapa bulan, sehingga menyisakan waktu amat terbatas untuk menyelesaikan penelitian. Selain itu, setidaknya sampai tahun lalu, penggunaan dan pelaporan dana riset harus memenuhi standar belanja barang dan jasa umum yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Penyimpangan dari aturan ini bisa berujung pada sanksi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Akibatnya, peneliti menjadi lebih sibuk dengan kelengkapan administrasi ketimbang memikirkan substansi penelitiannya.

Ketiga, kaitan antara impor rektor dan kualitas universitas di Singapura perlu diragukan. Bertil Andersson adalah satu-satunya Presiden NTU yang berasal dari luar Singapura.

Yang lebih penting, sejak periode sebelum Andersson pun NTU sudah merupakan universitas riset yang berkualitas. Misalnya, pada 2004 NTU tercatat menempati posisi ke-50 dalam QS World University Ranking. NUS bahkan tidak pernah mengimpor rektor dan tetap berhasil menjadi universitas kelas dunia!

Perlu solusi sistemik

Kasus Singapura menunjukkan bahwa mutu universitas adalah buah dari perbaikan sistemik, terutama dalam hal pengelolaan SDM dan dana riset. Ekosistem yang baik itulah yang kemudian menarik talenta-talenta akademik kelas dunia untuk bekerja di Singapura. Bukan sebaliknya.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com