Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasca Gempa Banten, Bisakah Lindu Menjalar dan Picu Goncangan Lain?

Kompas.com - 05/08/2019, 06:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - BMKG menyebut ada peningkatan jumlah gempa sepanjang Juli 2019 di Indonesia. Pada Jumat malam kemarin, lindu berkekuatan 7,4 pun mengguncang Banten yang getarannya terasa sampai Bali hingga Mataram.

Fenomena rentetan gempa di Indonesia ini pun membuat masyarakat beranggapan bahwa gempa pada waktu tertentu kemungkinan bisa menjalar dan memengaruhi gempa lain.

Sebagai contoh, gempa Lombok kemudian memicu gempa Palu, kemudian dari Papua menerjang Maluku Utara, Halmahera Selatan, Sumbawa, Bali, dan Banten, entah selanjutnya ke mana lagi.

Pasca gempa Banten M 6,9 pada 2 Agustus 2016, kini berkembang berita di media sosial bahwa akan terjadi gempa besar megathrust berkekuatan M 9,0. Gempa ini diyakini bakal mengaktifkan sesar Baribis.

Namun, benarkah suatu gempa dapat menjalar dan memicu gempa lain?

Baca juga: BMKG: Aktivitas Gempa Selama Juli 2019 Meningkat, Ini Rinciannya

Menjawab pertanyaan ini, Daryono selaku Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG mengatakan, gejala menjalarnya gempa dari satu tempat ke tempat lain, secara ilmiah sulit diterangkan.

"Hingga saat ini, kita lebih mudah mengkaji aktivitas gempa dalam aspek spasial dan temporal daripada mengkaji perubahan dan perpindahan tegangan (stress) di kulit Bumi. Inilah mengapa sangat sulit menerangkan secara empirik dugaan sebagian orang bahwa gempa saling berhubungan dan dapat menjalar ke sana ke mari," ujar Daryono kepada Kompas.com, Minggu malam (4/8/2019).

Dia mengatakan, ada beberapa pakar gempa yang berpendapat bahwa perubahan pola tegangan regional (regional stress pattern) mungkin dapat menerangkan gejala ini.

"Namun nyatanya, hingga saat ini bagaimana memodelkan hal itu masih sulit dilakukan," imbuh dia.

Dua teori pemicuan antar gempa

Sejauh perkembangan ilmu kegempaan, ada dua teori pemicuan antar gempa. Pertama, pemicuan gempa yang bersifat statis (permanen) dan pemicuan yang bersifat dinamik atau berpindah.

1. Pemicuan gempa bersifat statis

Pemicuan yang bersifat statis dapat terjadi pada gempa-gempa yang sangat dekat lokasinya.

Sebagai contoh adalah munculnya gempa-gempa baru di Lombok di bagian barat dan timur yang diduga kuat akibat pemicuan gempa yang bersifat statis (static stress transfer) dari gempa Lombok M 7,0 yang terjadi sebelumnya.

Transfer tegangan statis ini berkurang secara cepat terhadap jarak dan disebabkan oleh perpindahan patahan yang permanen.

2. Pemicuan gempa bersifat dinamis

Sementara itu untuk pemicuan dinamis, bisa berkaitan dengan gempa-gempa dekat dan jauh.

Transfer tegangan dinamis ini nilainya lebih kecil, berkurang dengan melambat terhadap jarak dan merupakan tegangan yang dibawa oleh gelombang seismik melalui batuan.

"Konsep pemicuan dinamik ini lebih sering dikaitkan dengan potensi gempa yang dipicu dari jarak jauh," ungkap Daryono.

"Karena nilai transfer tegangannya kecil, maka syarat utama yang paling dibutuhkan adalah patahan yang terpicu harus benar-benar berada di titik paling kritisnya, sehingga sedikit saja "dicolek" oleh perubahan tegangan (yang kecil), patahan langsung memicu gempa," imbuh dia.

Daryono menambahkan, konsep pemicuan dinamik sangat rumit dan banyak syarat yang harus terpenuhi.

"Maka bagi mereka yang paham betul ilmu gempa (seismologi) justru malah semakin berhati-hati, tidak mudah dengan entengnya mengatakan sebuah gempa dapat dipicu oleh gempa lain, apalagi hanya menduga-duga dan mencocok-cocokkan (cocokologi) antara satu gempa dengan gempa lain seolah antar gempa dengan mudah saling berkaitan dan dengan mudah saling picu," papar dia.

Baca juga: Kenapa Gempa Banten Terasa Sampai Yogyakarta dan Mataram?

Daryono mengaku, masih sangat sulit menjelaskan secara empiris kaitan antar kejadian gempa yang terjadi. Namun dia dapat memastikan, seluruh peristiwa gempa akhir-akhir ini terjadi di zona rawan gempa.

"Ini tentu hal biasa dan wajar, sehingga jika ada kejadian gempa yang hampir bersamaan maka itu lebih kepada faktor kebetulan saja," kata Daryono.

Dia menjelaskan, masing masing sumber gempa memiliki medan tegangan sendiri dan mencapai tingkat akumulasi maksimum (matang) yang hampir bersamaan, sehinga mengalami pelepasan energi sendiri-sendiri yang dimanifestasikan dalam kejadian gempa yang mungkin saja terjadi hampir berbarengan.

"Namun demikian yang terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi berbagai ragam bencana gempa bumi yang pernah terjadi," ujar Daryono.

Mitigasi sangat penting dilakukan, agar setiap peristiwa gempa bumi menghasilkan pembelajaran untuk perbaikan mitigasi ke depan. Hal ini agar kita mampu memperkecil risiko, dapat menekan jumlah korban, kerusakan, dan kerugian jika terjadi gempa kuat di kemudian hari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau